Sementara proses produksinya melibatkan konversi bahan baku ini menjadi molekul bahan bakar yang mirip dengan avtur konvensional, sehingga dapat digunakan dalam mesin pesawat tanpa modifikasi besar.
Keunggulan bioavtur
Dikutip dari laman resmi Pertamina, avtur ramah lingkungan memiliki keunggulan utama pada pengurangan emisi karbon. Bioavtur bisa mengurangi emisi karbon hingga 80% dibandingkan avtur konvensional. Hal ini tentunya membantu mengurangi dampak lingkungan industri penerbangan, yang menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca.
Manfaat bioavtur lainnya yakni memanfaatkan bahan baku alternatif seperti limbah biomassa atau gas alam, avtur ramah lingkungan berperan dalam mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan tetapi juga meningkatkan keamanan energi melalui diversifikasi sumber bahan bakar.
Kemudian bioavtur memiliki karakteristik fisik dan kimia yang lebih unggul dibandingkan avtur konvensional, seperti stabilitas termal yang lebih baik dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi. Ini dapat berdampak positif pada kinerja mesin pesawat dan mengurangi biaya operasional.
Bangun pabrik
Saat ini Indonesia tengah melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan rendah emisi karbon. Salah satunya dengan membangun pabrik bioavtur yang direncanakan akan berlokasi di Riau.
"Kita juga sedang siapkan di Riau untuk kapasitas sekitar 300.000 dan kalau sudah ada produksinya baru kita tentukan apakah kita menggunakan 1% atau 2%," ujar Airlangga dalam agenda Bisnis Indonesia Economic Outlook 2025, Selasa (10/12/2024).
Menurut Airlangga, pengembangan bioavtur di Indonesia dilakukan seiring dengan negara tetangga seperti Singapura yang juga mengembangkan produk yang sama. Padahal, kata Airlangga, Singapura menggunakan bahan baku SAF dari Indonesia berupa minyak jelantah atau used-cooking oil maupun minyak inti kelapa sawit atau palm kernel oil (PKO).
Target 2027
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut bahwa Pertamina telah siap untuk memasok bioavtur guna mendukung implementasi pemanfaatan avtur dengan campuran bahan bakar nabati di dalam negeri.
Berdasarkan peta jalan atau roadmap pemerintah, penerapan bioavtur sebesar 1% ditargetkan berjalan mulai 2027.
“Ya, rencananya demikian dan Pertamina sudah siap dari sisi produksi,” kata Sekretaris Jenderal ESDM Dadan Kusdiana, Agustus tahun ini.
Bikin tiket pesawat mahal
Kementerian ESDM sebelumnya menyebut kewajiban menggunakan bioavtur akan berdampak terhadap harga tiket pesawat yang bakal makin mahal. Hal ini terbukti karena harga tiket pesawat melalui keberangkatan Bandara Changi, Singapura, ke Indonesia bakal makin mahal per 1 Januari 2026.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan hal ini terjadi karena Singapura mewajibkan pemakaian bioavtur sebesar 1%. Dalam kaitan itu, biaya bioavtur bakal dibebankan kepada harga tiket maskapai penerbangan komersial.
“Per 1 Januari 2026, tiketnya akan lebih mahal. Pesawat kita datang ke [Bandara] Changi, tiket pulang akan jauh lebih mahal karena sudah mewajibkan 1% bioavtur. Harga bioavtur dibebankan ke tiket penumpang,” ujar Eniya pada Juli lalu.
Di sisi lain, Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna menilai penggunaan bioavtur pada pesawat —yang perlahan diproyeksikan makin naik ke depannya — bakal berimbas terhadap biaya industri maskapai penerbangan.
Putra menggarisbawahi harga bioavtur saat ini mencapai 2—4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan avtur konvensional.
“Saat ini bioavtur masih kurang dari 1% konsumsi avtur dunia, dengan target awal berbagai negara meningkatkan komponen bioavtur secara perlahan,” ujar Putra.
Bioavtur di RI
Eniya pernah menjelaskan Pertamina bersama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) telah mengembangkan bahan bakar J2.4 dengan bioavtur 2,4%.
Pada September 2021, uji coba terbang pertama juga telah dilakukan dengan pesawat CN-235-220 FTB rute Bandung—Jakarta.
Pada 18 Juli 2022, Kementerian ESDM dan Kementerian Perhubungan juga sudah menandatangani kesepakatan bersama yang salah satunya adalah pemanfaatan bahan bakar nabati pada pesawat udara.
Selanjutnya, uji coba penerbangan bahan bakar J2.4 secara komersial juga dilakukan terhadap pesawat milik PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) pada Oktober 2023
Eniya mengatakan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi juga sudah memiliki peta jalan atau roadmap bioavtur pada pesawat terbang.
“Kita sedang berikan masukan, sedang konsensus di beberapa kementerian sudah berikan masukan,” ujarnya.
(ain)