Bagaimanapun, hingga saat ini Roy menyebut opsi boikot jual minyak goreng di ritel modern tersebut belum menjadi keputusan final lantaran pelaku usaha masih mendiskusikan mekanismenya di tingkat nasional, baik antara peritel lokal maupun peritel jejaring.
“Jadi memang prosesnya sedang berjalan untuk menggalang opsi inin. Sampai hari ini kami belum bisa kasih tanggalnya kapan, tetapi kami sedang mempersiapkan untuk menjalankan opsi-opsi itu; sesuai dengan perkembangan yang sedang kami nantikan [dari Kemendag],” tegasnya.
Berdasarkan hasil pertemuan dengan Kementerian Perdagangan pada Kamis, lanjutnya, Aprindo berharap pemerintah dapat memberikan kepastian mengenai pelunasan tunggakan tersebut dalam tempo 2 hingga 3 bulan ke depan atau selambat-lambatnya Agustus sebelum periode kampanye tahun politik berlangsung.
Selama periode tersebut, pengusaha ritel berupaya untuk tidak menempuh langkah hukum –seperti menggugat Kemendag– sembari menanti hasil legal opinion terkait dengan kasus tunggakan tersebut dari Kejaksaan Agung.
“Jika dalam 2—3 bulan tidak ada solusi, kami akan menggerakkan segala opsi. Termasuk apakah juga opsi hukum dan lain sebagainya. Jadi sudah tidak ada pilihan. Terakhir, Kemendag menjanjikan akan melanjutkan pembicaraan dengan mengajak dan mengundang produsen,” jelas Roy.
Sekadar catatan, kebijakan minyak goreng satu harga diluncurkan oleh Kementerian Perdagangan pada 19—31 Januari 20022, sebagai upaya mengatasi lonjakan harga kebutuhan pokok berbahan baku minyak kelapa sawit tersebut.
Dasar hukum dari kebijakan tersebut adalah Peraturan Menteri Perdagangan No. 3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan berjanji pemerintah akan melunasi tunggakan Rp344,15 miliar kepada pengusaha ritel modern terkait dengan selisih harga minyak goreng dalam kebijakan satu harga yang dijalankan pada 2022.
“BPDPKS mau bayar. Kan dia mau bayar kalau ada aturannya, kan. Kalau enggak, kan bisa masuk penjara. Nah kita perlu fatwa hukum. Nah itu yang diminta oleh Sekjen [Kementerian Perdagangan] ke Kejaksaan Agung. Kalau sudah ada [keputusan dari Kejagung], kita bikin surat, pasti dibayar,” ujarnya saat ditemui di kantor Kemendag, Kamis (4/5/2023).
(ibn/wdh)