Padahal batu bara adalah andalan utama ekspor Indonesia. Sepanjang Januari-Oktober, nilai ekspor bahan bakar mineral (yang didominasi batu bara) mencapai US$ 32,53 miliar. Angka ini menyumbang hampir 16% dari total ekspor non-migas.
Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa arus perdagangan global memang melemah. Ini terlihat dari Baltic Dry Index (BADI)
Sepanjang November, BADI membukukan koreksi 2,45%.
Manufaktur Lesu, Impor Ikut Layu
Tidak hanya ekspor, impor juga melemah. Pada November, konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg menghasilkan median proyeksi pertumbuhan impor di 6,36% yoy. Jika terjadi, maka jauh melambat dibandingkan Oktober yang melesat 17,49%.
Andai memang impor tumbuh 6,36% yoy, maka akan menjadi yang terlemah sejak kontraksi (pertumbuhan negatif) pada Mei lalu.
Kelesuan impor sepertinya tidak lepas dari dinamika industri manufaktur. Sebab, lebih dari 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan industri dalam negeri. Jadi saat manufaktur lesu, maka impor juga begitu.
S&P Global melaporkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia pada November adalah 49,6. Angka ini memang membaik ketimbang Oktober yang sebesar 49,2.
Namun PMI di bawah 50 berarti aktivitas sedang mengalami kontraksi, bukan ekspansi. PMI manufaktur Indonesia sudah 5 bulan beruntun berada di bawah 50.
Para responden masih melaporkan aktivitas pasar yang sepi, terlihat dari pelemahan daya beli. Sementara pemesanan ekspor kembali turun. Ini menjadi penurunan selama 9 bulan beruntun dan semakin dalam.
Dengan peningkatan produksi sedangkan permintaan turun, hasilnya adalah stok meningkat pesat. Dunia usaha berharap stok ini bisa terbeli pada Desember, saat momentum Hari Natal dan Tahun Baru.
"Hal yang kurang positif lainnya adalah penurunan volume rekrutmen tenaga kerja, yang kini terjadi 2 bulan beruntun. Kontraksinya bahkan menjadi yang terdalam selama lebih dari 3 tahun terakhir. Perusahaan melaporkan pekerja yang keluar tidak digantikan, dan dalam beberapa kasus terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)," ungkap laporan S&P Global.
Neraca Dagang di Ambang Surplus
Meski ekspor dan impor kemungkinan lesu, tetapi setidaknya neraca perdagangan sepertinya masih surplus. Konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg memperkirakan neraca perdagangan Indonesia pada November mampu mencetak surplus US$ 2,21 miliar.
Jika terealisasi, maka neraca perdagangan Indonesia akan surplus selama 55 beruntun. Kali terakhir terjadi defisit adalah pada April 2020.
Meski surplus terjadi selama lebih dari 4 tahun, tetapi ini bukan rekor terpanjang. Surplus terpanjang pernah terjadi 152 bulan berturut-turut pada Juni 1995-April 2008.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menilai berlanjutnya surplus neraca dagang memberikan peluang tambahan devisa bagi Indonesia. Febrio memandang surplus perdagangan baik bagi ekonomi domestik dan mencerminkan perekonomian yang semakin terdiversifikasi.
“Karena kalau kita lihat kondisi ekonomi global masih menantang, apalagi belakangan kita melihat pelemahan perekonomian di Tiongkok,” tutur Febrio, beberapa waktu lalu.
Febrio juga menyebut capaian tersebut menjadi salah satu upaya perubahan struktur ekonomi RI untuk bertransformasi menjadi ekonomi yang bernilai tambah tinggi.
“Tidak hanya untuk tahun ini tetapi juga tahun-tahun berikutnya,” katanya.
(aji)