Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan ketika PPN dinaikan dari 11% ke 12% maka dampaknya adalah penurunan daya saing yang terlihat dari ekspor secara agregat dan secara nasional yang diproyeksikan turun 1,41%.
"Ketika PPN dinaikkan dari 11% ke 12% maka dampaknya pertama kita akan melihat terjadi penurunan daya saing, penurunan daya saing terlihat dari ekspor yang menurun secara agregat secara total secara nasional akan turun 1,41% kemudian konsumsi rumah tangga akan turun 0,26%," ujar Heri dalam diskusi publik Indef 'PPN Naik, Beban Rakyat Naik'.
Sebagai gambaran, Heri menjelaskan alur kenaikan PPN 12% yang menyebabkan terkoreksinya pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga.
Pertama, kenaikan PPN akan berdampak pada kenaikan biaya produksi dan konsumsi. Dalam kaitan itu, produsen atau sektor industri bakal merasakan kenaikan harga saat membeli barang setengah jadi yang sudah diolah dari bahan baku karena peningkatan PPN menjadi 12%.
Tidak hanya industri, peningkatan PPN menjadi 12% juga akan dirasakan oleh masyarakat. Dengan demikian, kenaikan PPN menjadi 12% akan berdampak pada kenaikan biaya produksi dan konsumsi.
Akibat kenaikan biaya produksi dan konsumsi, daya beli akan melemah yang juga bakal berdampak pada melemahnya utilisasi dan penjualan.
"Maka utilisasi dan penjualan menjadi tidak optimal, yang seharusnya mendekati 100% penjualannya, ini dikurangi karena permintannya melambat. Jadi tidak jual 100% lagi, tetapi dia kurangi penjualannya menjadi lebih sedikit,"
Utilisasi dan penjualan yang melemah bakal berdampak pada penurunan penyerapan tenaga kerja. Hal ini terjadi karena industri tidak lagi membutuhkan tenaga kerja yang maksimal dengan penurunan utilisasi, sehingga bakal terjadi pengurangan jam kerja bahkan pengurangan tenaga kerja.
Dengan demikian, pendapatan masyarakat bakal menurun. Bila pendapatan menurun, maka konsumsi bakal menurun dan menghambat pemulihan ekonomi yang pada akhirnya bakal menghambat pencapaian target pertumbuhan.
Adapun, Majelis Nasional atau badan legislatif di Vietnam telah menyetujui perpanjangan pengurangan tarif PPN dari 10% menjadi 8% hingga akhir Juni 2025. Sebelumnya, pengurangan PPN telah diterapkan sejak 2022 untuk mendukung produksi dan bisnis serta mendorong konsumsi pascapandemi Covid-19.
Hal ini berbanding terbalik dengan kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI dan Pemerintah Indonesia yang justru menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.
Menurut resolusi yang disahkan pada hari Sabtu lalu, dikutip dari media lokal Vietnam News, barang dan jasa yang dikenakan tarif pajak 10% akan terus menikmati tarif 8% selama enam bulan ke depan.
Pengurangan PPN tidak berlaku untuk real estat, sekuritas, perbankan, telekomunikasi, informasi dan teknologi, batu bara, bahan kimia, serta produk dan jasa yang dikenakan pajak konsumsi khusus.
(ain)