Rawan Overquota
Plt Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengungkapkan pada dasarnya kuota LPG 3 Kg atau 'Gas Melon' yang ditetapkan dalam APBN tahun ini adalah sebanyak 8,03 juta metrik ton (mt), di bawah usulan yang diajukan pemerintah.
Dadan mengatakan, saat pembahasan anggaran pada awal tahun, pemerintah mengusulkan kuota penyaluran LPG 3 Kg sebesar 8,30 juta mt, tetapi DPR menyetujuinya menjadi 8,03 juta mt.
"Sebetulnya ya, dahulu itu pada saat pembahasan awal tahun, kita ini mengusulkannya itu 8,3 juta mt. Akan tetapi, kan DPR-nya jadinya 8,03 juta mt," ungkap Dadan di sela kegiatan Hilir Migas Conference, Expo & Award, Kamis (12/12/2024).
Sebagai perbandingan, penyaluran LPG 3 Kg sepanjang 2023 mencapai 8,05 juta mt dari kuota 8 juta ton. Realisasi serapan LPG bersubsidi tahun lalu tidak jauh berbeda dari pagu kuota tahun ini. Pemerintah pun memberikan outlook realisasi serapan LPG 3 Kg sampai akhir 2024 mencapai 8,15 mt alias di melebihi kuota.
Kendati demikian, Dadan menegaskan bahwa kerawanan 'kuota jebol' yang terjadi pada tahun ini masih lebih rendah dari pertumbuhan konsumsi LPG 3 Kg setiap tahunnya, yakni sebesar 4,5%.
"Angka [overquota] 3% ini masih lebih rendah dari pertumbuhan yang terjadi selama ini. Artinya, pertumbuhan [konsumsi anual] LPG [bersubsidi] itu di angka 4,5%. Sekarang kita berhasil menurunkan, artinya itu menjadi makin tepat sasaran," ucap Dadan.
Belum 'Jebol'
Menurut data terakhir Kementerian Keuangan, serapan LPG 3 Kg sepanjang Januari—November 2024 baru mencapai 6,85 juta ton.
Capaian tersebut memang naik dari realisasi pada rentang yang sama tahun lalu sebanyak 6,72 juta ton. Artinya, terjadi peningkatan konsumsi anual LPG bersubsidi sebanyak 1,9% pada periode tersebut.
Akan tetapi, realisasi penyaluran selama 11 bulan pertama tahun berjalan tersebut masih belum menghabiskan kuota LPG 3 Kg disediakan sebanyak 8,03 juta ton dalam APBN 2024, dengan nilai subsidi sejumlah Rp87,45 triliun dari total anggaran subsidi energi sebanyak Rp189,1 triliun.
"Secara keseluruhan, pagu untuk subsidi kita [masih] cukup fleksibel. Subsidi energi pertama cukup fleksibel antara LPG, BBM [bahan bakar minyak], dan listrik. Itu cukup fleksibel kita melihat sejauh ini masih ada ruang untuk bermain di pagu itu," ujar Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata dalam konferensi pers APBN KiTa, Rabu (11/12/2024).
Kendati demikian, Isa mengatakan Kemenkeu akan terus melakukan pemantauan terhadap kecukupan dan serapan subsidi energi hingga akhir tahun ini. Terlebih, biasanya konsumsi—baik LPG 3 Kg, BBM, maupun listrik — cenderung mengalami peningkatan pada momentum Natal dan Tahun Baru (Nataru).
"Mudah-mudahan PT PLN [Persero] dan PT Pertamina [Persero] terus bisa mengendalikan penggunaan energi tersebut dalam hal ini termasuk LPG," ujarnya.
Kemenkeu mencatat realisasi anggaran subsidi dan kompensasi mencapai Rp420,5 triliun dalam 11 bulan pertama tahun ini, naik 31,9% dari realisasi pada periode yang sama tahun lalu. Perinciannya, subsidi energi telah terserap Rp157,2 triliun, nonenergi Rp87 triliun, dan kompensasi Rp176,4 triliun.
Pada kesempatan terpisah di Komisi VI DPR RI pekan lalu, Wakil Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Wiko Migantoro memaparkan penjualan LPG 3 Kg bersubsidi per Oktober telah mencapai 6,9 juta ton dari target 2024 sebanyak 8,03 juta ton. Data tersebut nyaris selanggam dengan milik Kemenkeu.
Sementara itu, penjualan BBM bersubsidi per Oktober 2024 mencapai 39,7 juta kiloliter (kl) dan diharapkan mencapai 48,6 juta kl hingga akhir tahun ini.
Adapun, penjualan produk nonsubsidi mencapai 37,2 juta kl dan target akhir tahun 39,1 juta kl. Secara keseluruhan, total produk BBM dan LPG Pertamina yang terjual 102,4 juta kl sampai dengan 31 Oktober 2024.
"Hari-hari ini kami kembangkan sistem digital sangat solid di penyaluran BBM dan LPG. Sistem ini akan sangat berguna nanti apabila pemerintah ambil keputusan mengenai subsidi tepat sasaran," kata Wiko.
Konsumsi Meningkat
Menurut laporan terbaru BMI, lengan riset Fitch Solutions, konsumsi LPG tabung di Asean—termasuk Indonesia — mewakili sekitar 15,4% dari pasar LPG di kawasan Asia Pasifik yang mencapai 4,8 juta barel per hari (bph).
Laju pertumbuhan permintaan LPG bervariasi di antara negara Asean, dipengaruhi oleh berbagai tingkat pertumbuhan ekonomi dan populasi, industrialisasi, urbanisasi, dan kebijakan pemerintah.
Tingkat pertumbuhan yang lebih kuat diamati di negara-negara ekonomi berkembang seperti Vietnam dan Filipina. Vietnam, khususnya, telah mengalami pertumbuhan permintaan yang kuat sejak pabrik petrokimia Siam Cement Group mulai beroperasi pada bulan Desember 2023.
“Kami memproyeksikan bahwa konsumsi LPG di Asia Tenggara akan tumbuh pada tingkat rata-rata 2% per tahun antara 2023 dan 2033,” papar tim peneliti BMI.
Menurut BMI, subsidi energi yang berlaku di Indonesia, Thailand, dan Malaysia dapat terus mendukung konsumsi LPG di sektor perumahan dan komersial. Permintaan LPG Indonesia bahkan diperkirakan tumbuh hampir sama dengan Jepang dan Korea Selatan dalam hal volume.
Meskipun persaingan konsumsi gas alam dan listrik makin ketat, fundamental sisi permintaan di pasar LPG regional tetap kuat. Konsumsi LPG agregat Asia Tenggara diperkirakan mencapai 740.000 bph pada 2023.
Konsumsi LPG di Asean terus tumbuh secara konsisten, dengan pertumbuhan permintaan yang meningkat terutama berasal dari sektor perumahan dan komersial, yang didukung oleh pesatnya urbanisasi.
Analisis permintaan sektoral menunjukkan bahwa penggunaan LPG di sektor perumahan, komersial, dan publik menyumbang 71% dari total konsumsi LPG di Asia Tenggara pada 2023, diikuti oleh penggunaan nonenergi (17%) dan manufaktur (6%).
Namun, konsumsi LPG di sektor perumahan menghadapi persaingan yang makin ketat dari gas alam karena pemerintah melakukan perluasan jaringan gas domestik, khususnya di Indonesia dan Singapura.
Ketergantungan Impor
Di lain sisi, ketergantungan Indonesia pada impor LPG diperkirakan makin dalam meskipun ada potensi pertumbuhan pasokan regional.
“Kami memproyeksikan defisit LPG di Asia Tenggara akan terus meningkat dari 51.000 barel per hari pada 2023 menjadi 120.000 barel per hari pada 2033, dengan pertumbuhan yang lebih kuat didorong oleh meningkatnya kebutuhan impor dari Indonesia, Filipina, dan Vietnam,” papar BMI.
Indonesia sendiri berupaya mengurangi ketergantungannya pada LPG, tetapi hal ini akan menjadi tugas yang berat kecuali pemerintah menghapus subsidi dan mempercepat perluasan jaringan dan infrastruktur pasokan gas alam.
Kecuali Malaysia dan Singapura, semua negara lain akan tetap menjadi pengimpor bersih LPG selama periode perkiraan 10 tahun. Meskipun sebagian besar impor LPG berasal dari Timur Tengah, perdagangan intra dan antarwilayah cukup signifikan mengingat keberadaan produsen seperti Malaysia, Indonesia, dan Australia.
(mfd/wdh)