Selain itu, dari sisi kebutuhan modal, modal investasi emas lebih terjangkau karena bisa dibeli dari satuan paling mikro sekalipun. Sementara modal investasi properti jauh lebih mahal.
Tanpa uang besar, membeli properti hanya mungkin dengan cara kredit lewat perbankan yaitu dengan mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR), atau dengan jenis kredit lain yang sesuai hitungan tiap investor.
Kenaikan Harga
Harga emas dunia sudah membukukan kenaikan 35% year-to-date dengan memecahkan rekor termahal dalam sejarah pada akhir Oktober lalu di posisi US$ 2.787,61 per troy ons, seperti dilansir dari data Bloomberg.
Meski hari ini harga emas bergerak di kisaran di bawah level rekor tersebut, lonjakan sepanjang tahun ini sudah mengantarkan kekayaan lebih besar pada para investornya.
Kenaikan harga emas dunia itu telah mengerek pula harga emas lokal di Indonesia. Harga emas batangan produksi PT Aneka Tambang Tbk, sebagai contoh, membukukan kenaikan harga jual sebesar hampir 39% tahun ini. Rekor termahal terjadi pada 31 Oktober kala harga emas Antam pecah di Rp1.567.000 per gram.
Sementara harga buyback yang mencerminkan nilai potential gain investor emas Antam, tercatat telah naik 25,6% ketika rekor tercipta. Saat ini harga buyback emas Antam dibanderol sebesar Rp1.399.000 per gram, setara dengan potential return sebesar 24% bagi investor emas yang membeli emas akhir tahun lalu.
Potensi keuntungan emas sepanjang tahun ini mengalahkan profit dari saham dan obligasi negara. Bila indeks menjadi acuan, IHSG sepanjang tahun ini membukukan kenaikan 1,80% year-to-date. IHSG sempat mencetak kenaikan 8,7% ketika rekor tertinggi sepanjang masa pecah pada 19 September lalu di 7.905.
Begitu juga dengan obligasi negara. Imbal hasil alias yield SBN tenor 10 tahun misalnya, sepanjang tahun ini naik 6,13%. Kenaikan yield berarti penurunan harga obligasi karena dua hal tersebut bergerak berkebalikan.
Lalu bagaimana dengan harga properti di Indonesia?
Mengacu data Bank Indonesia, Indeks Harga Properti Residensial tahun dasar 2018, pada kuartal 1-2028 tercatat 99,32. Sampai data terakhir kuartal III-2024, indeks ada di level 109,44. Artinya, selama periode tersebut atau sekitar enam tahun, kenaikan harga properti di Indonesia hanya 10,2%.
Kenaikan di kelompok nonresidensial, Indeks Harga Properti Komersial dalam enam tahun terakhir, juga cuma naik 6,22%.
Bandingkan dengan kenaikan harga emas Antam pada periode yang sama. Sekitar akhir Maret 2018 harga emas Antam dijual Rp647.000 per gram. Pada akhir kuartal III-2024, harga buyback emas Antam ada di level Rp1.304.000 per gram. Alhasil, terjadi kenaikan 101,54% atau sekitar 16,9% per tahun, melampaui kenaikan harga rumah.
Kenaikan di kelompok nonresidensial, Indeks Harga Properti Komersial dalam enam tahun terakhir, juga cuma naik 6,22%.
Laporan Rumah123.com terbaru yang dilansir, pada Oktober lalu, harga rumah bekas di Indonesia hanya naik 0,1% dibanding bulan sebelumnya. Pada saat yang sama, suplai atau ketersediaan rumah bekas di pasar naik lebih tinggi mencapai 1,9%.
"Resale Price Index, secara keseluruhan harga rumah mencatat kenaikan 1,7% pada Oktober year-on-year. Sedangkan volume suplai tumbuh 18,6% secara tahunan," demikian dikutip dari Ringkasan Eksekutif FlashReport Rumah123.com edisi November.
Kurang Likuid
Membeli properti membutuhkan modal tak kecil. Sebagai contoh, harga rumah seken dengan ukuran bangunan sekitar 100 meter persegi dan tanah 90 meter persegi, di kawasan Poris, Kota Tangerang, dilego di kisaran Rp900 juta, seperti dilihat di salah satu website jual beli properti.
Sementara rumah baru di kawasan tak jauh dari sana, yaitu di Banjar Wijaya, dengan ukuran lebih kecil yaitu luas tanah 50 meter persegi dan bangunan 64 meter persegi, dijual di pasar primer seharga Rp1,4 miliar per unit.
Hal ini menjadi cerminan, investasi properti membutuhkan modal tak sedikit. Sementara bila mencari rumah di daftar lelang bank yang biasanya berisi rumah-rumah dengan banderol lebih murah, harganya sudah pasti ratusan juta rupiah.
Yang juga perlu diingat, properti bukanlah instrumen investasi yang likuid. Perlu bertahun-tahun sampai sebuah unit bisa dijual dengan harga terbaik. Itulah mengapa properti lebih cocok dipilih sebagai investasi jangka panjang.
Mengacu kinerja penjualan, misalnya, menurut laporan Bank Indonesia, sampai data kuartal III-2024, penjualan properti residensial di pasar primer mencatat penurunan hingga 7,14% terutama di tipe rumah kecil dan menengah.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah biaya-biaya di seputar transaksi jual beli. Ketika berinvestasi di emas, ketika membeli emas seorang investor dikenakan pajak penghasilan (PPh) sebesar 0,25% dari harga jual. Pajak hanya berlaku bagi pembelian emas fisik, tapi tidak dikenakan untuk emas digital.
Sementara ketika membeli properti, investor perlu menyiapkan dana tambahan untuk keperluan transaksi. Mulai dari biaya cek sertifikat, lalu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), kemudian Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Biaya Balik Nama (BBN), biaya Akad Jual Beli (AJB) dan biaya-biaya lain.
Sementara penjualan rumah tipe besar melambat tajam yaitu dari 27,41% yoy pada kuartal II menjadi hanya tumbuh 6,83% pada kuartal III lalu.
Kesimpulannya, bagi investor ritel dengan modal terbatas dan mencari aset cukup likuid serta memberikan prospek kenaikan nilai (return) yang menarik, memilih berinvestasi emas akan lebih masuk akal ketimbang properti. Tentu dengan menimbang berbagai risiko yang menyertai, berikut potensi keuntungannya.
(rui/aji)