Logo Bloomberg Technoz

“Untuk permintaan juga masih stabil karena industri-industri mobil listrik dan energi terbarukan terus berkembang di luar,” lanjutnya.

Ihwal produksi, Harwendro tidak menampik dalam beberapa tahun terakhir terdapat tren penurunan produksi timah kumulatif Indonesia, yang dipicu oleh kinerja PT Timah (Persero) Tbk (TINS) yang kerap tidak memenuhi RKAB.

Kasus korupsi PT Timah senilai Rp300 triliun yang menjerat 5 smelter besar juga dinilainya menjadi penyebab penurunan produksi dari perusahaan pelat merah tersebut.

Sebaliknya, perusahaan-perusahaan timah swasta selalu bisa merealisasikan produksi mereka sesuai RKAB.

Case-nya [produksi meleset] hanya di TINS sepertinya; agak jauh dari rencana RKAB mereka. [Perusahaan timah] swasta hanya satu mungkin yang [produksinya] tidak sesuai RKAB tahun ini, tetapi jumlahnya tidak signifikan, sekitar 500 mt,” terangnya.

PT Timah sendiri sebelumnya memproyeksikan harga timah pada 2025 berada di kisaran US$ 29.000/ton—US$ 31.000/ton, di tengah optimisme perseroan bahwa permintaan terhadap komoditas bahan baku solder itu akan menguat tahun depan. 

Meski demikian, ramalan PT Timah tersebut tidak berbeda alias stagnan dari proyeksi harga timah yang ditetapkan perseroan untuk tahun ini.

“Kami akan bertahan di angka yang sama seperti 2024. Ada beberapa analis market trader timah yang sangat optimistis dengan timah, bahkan mereka bisa bilang sampai harga US$35.000/ton. Akan tetapi, konservatif kita bilang di US$29.000/ton—US$31.000/ton,” kata Direktur Pengembangan Usaha PT Timah, Dicky Octa Zahriadi  saat ditemui di sela paparan publik, akhir November.

Dicky menyebut, beberapa konsumen PT Timah di negara lain seperti China dan Jepang memberikan sinyal positif untuk meningkatkan permintaan timah secara global; baik dalam bentuk timah solder maupun kimia. Hal ini sejalan dengan naiknya penggunaan baterai kendaraan listrik. 

“Itu secara faktor demand yang sangat positif mendukung untuk kenaikan harga timah,” ujarnya. 

Dicky menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir, selalu ada kesenjangan atau gap antara penawaran dan permintaan, lantaran konsumsi timah selalu lebih besar dibandingkan dengan suplai. Di sisi lain, faktor geopolitik juga turut memengaruhi harga timah karena sejumlah kebijakan di China.

“Faktor geopolitik yang sangat mempengaruhi adalah terkait dengan terpilihnya [presiden Amerika Serikat, Donald] Trump. Itu dikhawatirkan ada perang dagang antara Amerika dan China yang juga sangat berpengaruh kepada harga timah,” ujarnya.

Kondisi perang dagang dua raksasa ekonomi tersebut tecermin dari harga timah yang beranomali setelah Donald Trump dinyatakan sebagai Presiden Amerika Serikat terpilih. Harga timah terdepresiasi sekitar 10%, dari semula US$32.000/ton menjadi US$28.000/ton secara mingguan.

“Sampai akhir tahun ini mungkin kita melihat akan ada harga timahnya tidak akan serendah 2023, tetapi juga mungkin tidak akan setinggi sampai US$35.000/ton,” tutur Dicky.

PT Timah mencatat produksi bijih timah sejumlah 15.189 ton per September 2024. Capaian itu naik 36% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebanyak 11.201 ton. Kemudian, produksi logam timah naik 25% menjadi 14.440 metrik ton dari periode yang sama tahun lalu sebesar 11.540 metrik ton.

Penjualan logam timah meningkat 21% menjadi 13.441 metrik ton per September 2024 dibandingkan dengan periode yang sama sebesar 111.100 metrik ton. Sementara itu, harga jual rata-rata hingga September 2024 menjadi US$31.183 metrik ton. Capaian ini naik 15% dari periode yang sama tahun lalu US$27.017 metrik ton.

(wdh)

No more pages