Produk turunan dari smelter nikel pun lebih beragam, dibandingkan dengan smelter bauksit yang hanya bisa menghasilkan satu produk derivatif yaitu alumina, untuk bahan baku aluminium. Faktor-faktor tersebut lah yang diklaim menyebabkan lambatnya hilirisasi bauksit di Indonesia.
Selain akibat larangan ekspor washed bauxite, menurut Ronald, pengusaha kian tertekan lantaran tren harga alumina terus mengalami pelemahan.
Alumina (Platts) diperdagangkan di level US$755/ton di London Metal Exchange (LME) hari ini, anjlok 3,21% secara harian. Nikel, sebaliknya, dijual di US$15.858/ton, menguat 0,91% dari hari sebelumnya.
Stok Mangkrak
Ronald mengatakan produsen bauksit di tingkat hulu juga dituntut untuk terus berproduksi, meski pangsa pasarnya kian terbatas. Menurutnya, penambang bisa menghasilkan bijih bauksit rerata sebanyak 30 juta ton per tahun.
Volume bauksit yang diolah di smelter dalam negeri, padahal, hanya mencapai sekitar 12 juta ton per tahun. Dengan demikian, terdapat ekses bauksit sebanyak 18 juta ton yang dibiarkan begitu saja karena tidak bisa diekspor.
“[Volume produksi sebanyak] 31 juta ton sudah dikeluarkan oleh Kementerian ESDM untuk RKAB [Rencana Kerja dan Anggaran Biaya] bauksit. Sisanya ke mana? Sisanya mau dinongkrongin di mana? Di [lini] produksi? Kalau sudah di produksi, tetapi tidak dijual juga, dia tidak ada cuan dong. Kalau dirumahkan semua alat-alatnya mangkrak,” ujarnya.
Sejalan dengan hal itu, Ronald menyebut bauksit-bauksit yang tidak laku dijual itu kebanyakan hanya didiamkan begitu saja di pelabuhan hingga akhirnya terkikis menjadi laterit.
“Jadi memang kesulitan pengusaha [bauksit], produksi ini lagi meriang lah. Makanya, saya berusaha sekuat tenaga untuk bisa bangkit. Akan tetapi, bangkitnya dari mana nih? Semuanya terbentur pada masalah equity.”
“Sehingga, pengusaha bauksit itu sebetulnya sedang dalam posisi wait and see gitu loh. Enggak bisa dia produksi [seperti] buah simalakama. Harganya enggak memadai, tetapi kalau berhenti produksi juga salah,” ujarnya.
Untuk itu, dia pun kembali meminta agar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk merelaksasi ekspor bijih bauksit. Di sisi lain, pemerintah sebagai regulator seharusnya bisa berperan banyak ketimbang berharap pada investor ataupun perbankan.
“Sekarang peran pemerintah apa dalam rangka untuk membantu pengusaha agar betul-betul pengusaha cepat untuk mendapatkan investor? Karena kalau pengusaha gembar-gembor sendiri, kalau Bank Himbara saja tidak mau menangkap peluang ini, bagaimana Bank Asing?,” jelas dia.
Akal-akalan
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya menilai masih tersendatnya hilirisasi bauksit di Indonesia dipicu oleh banyaknya pengusaha sektor pertambangan yang lebih memilih mengekspor komoditas mineral dalam format barang mentah atau setengah jadi.
Dia mengaku, berdasarkan pengalamannya sebagai pengusaha, banyak pelaku industri yang ‘malas repot’ untuk berinvestasi lebih mahal guna memberikan nilai tambah terhadap produk yang dijualnya.
“Itu strategi pengusaha. Saya kan mantan pengusaha. Tidak ada sebuah negara di dunia ini yang mempunyai sumber daya alam [SDA] dari negara berkembang menjadi negara maju tanpa ada proses nilai tambah,” ujarnya kepada awak media, Rabu (27/11/2024).
Hal tersebut, lanjutnya, juga berlaku untuk sektor pertambangan bauksit; di mana pemerintah berkeinginan memacu hilirisasi untuk memberikan nilai tambah terhadap mineral logam bahan baku aluminium tersebut.
Menurutnya, dengan memacu hilirisasi SDA, Indonesia dapat keluar dari jebakan ekspor barang mentah, atau yang disebut Bahlil sebagai “kutukan sumber daya alam.”
“Nah saya kebetulan dahulu pengusaha kan ekspor-ekspor barang mentah terus. Aku tahu pengusaha [tambang] cari duit paling gampang gitu, ya sudah ekspor [barang mentah], tidak perlu tambah biaya kan. Cukup punya excavator, punya truk, punya geologis, angkutan, gali, kirim. Dapatnya US$10—US$15 per ton. Itu zaman saya. Saya kan mau insaf ini,” ujarnya.
Menurut Bahlil, pengusaha bauksit semestinya tidak boleh memiliki pola pikir tersebut, tetapi harus mengedepankan kepentingan negara dalam jangka panjang.
“Mereka juga sudah untung. Jadi bauksit, mohon maaf, memang banyak izin sudah keluar, [karena pengusaha] membuat komitmen dengan pemerintah, katanya [investasi smelter-nya] sudah sekian persen, makanya dikasih izin ekspor. Ternyata, apa yang dilaporkan itu tidak sesuai kenyataan,” ungkap Bahlil.
(wdh)