Dia mengklaim, KPU tingkat dua awalnya melaporkan jumlah kertas suara tak terpakai sekitar 600.000 lembar. Akan tetapi, jumlah tersebut menggelembung hingga dua kali lipat atau mencapai 1,2 juta kertas suara pada data yang dilaporkan KPU Provinsi.
Sedangkan, di Jawa Tengah, PDIP menuduh adanya keterlibatan aparat penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan dalam memberikan intervensi kepada masyarakat yang memilih atau menjadi motor pasangan calon Andika-Hendrar. Hal yang sama terjadi lagi seperti saat Pemilu 2024.
"Dari awal ada panggilan-panggilan kepolisian. Ada panggilan Kejaksaan. Pengerahan kepala desa dan lain-lain," ujar Ronny.
"Ini nanti kita akan buktikan di sidang Mahkamah Konstitusi."
Dia juga mengatakan, PDIP telah menyiapkan sejumlah barang bukti dan saksi untuk memperkuat dalil saat sidang di MK. Akan tetapi, dia berupaya merahasiakan semua informasi tersebut agar tak ada intervensi yang membuat para saksi takut atau batal memberikan keterangan di persidangan mendatang.
"Kita akan siapkan saksi semuanya, tetapi saya tidak akan sampaikan karena ini bagian dari strategi dari kami," ujar Ronny.
"Kami juga sampaikan bahwa setiap warga negara Indonesia punya hak untuk berbicara di muka persidangan. Dan, kami meminta agar jangan ada pihak-pihak yang mengintimidasi saksi-saksi yang akan hadir di Mahkamah Konstitusi."
Selain Jawa Tengah dan Jawa Timur, calon PDIP lain yang juga mengajukan gugatan adalah pasangan calon pada Pilkada Sumatra Utara. Akan tetapi, gugatan ini nampaknya dimotori petahana Edy Rahmayadi.
Pada Pilkada Sumut, jagoan PDIP Edy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala hanya meraih 2.009.311 suara atau 35,53% suara sah. Kalah jauh dari menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Bobby Nasution yang meraih 64,47% suara sah atau 3.645.611 suara.
(azr/frg)