Harga barang dan jasa yang kian mahal akibat kenaikan pajak dapat berdampak pada penurunan konsumsi. Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% mengerek harga yang harus dibayarkan oleh konsumen atas barang dan jasa yang terkena PPN, hingga 9%.
"Kenaikan harga itu bisa menaikkan inflasi Indeks Harga Konsumen sebesar 0,14% sehingga konsumsi rumah tangga dan dunia usaha bisa turun hingga 0,37%," kata tim ekonom Centre of Law and Economic Studies (CELIOS) di antaranya Nailul Huda dan Bhima Yudhistira dalam kajian yang dipublikasikan beberapa waktu lalu.
Berkaca pada kebijakan kenaikan PPN pada 2022, dari 10% menjadi 11%, inflasi domestik ketika itu melonjak tajam dari 1,56% menjadi 4,21%. Hal serupa kemungkinan akan terjadi untuk kenaikan kedua kali ke level 12%. Inflasi tahunan RI bisa melejit ke level 4,11% pada 2025, menurut hitungan ekonom.
Tekanan pada inflasi bahkan terjadi sebelum kebijakan tarif PPN 12%. Terdapat fenomena pre-emptives inflation atau inflasi yang mendahului tarif pajak baru. Pre-emptives inflation berasal dari perilaku sebagian pelaku sektor usaha ritel, dan manufaktur yang menyesuaikan label harga untuk menjaga marjin keuntungan sebelum pemberlakuan tarif PPN yang baru
Nailul Huda, Ekonom Centre of Law and Economic Studies
"Tekanan pada inflasi bahkan terjadi sebelum kebijakan tarif PPN 12%. Terdapat fenomena pre-emptives inflation atau inflasi yang mendahului tarif pajak baru. Pre-emptives inflation berasal dari perilaku sebagian pelaku sektor usaha ritel, dan manufaktur yang menyesuaikan label harga untuk menjaga marjin keuntungan sebelum pemberlakuan tarif PPN yang baru," jelas Nailul.
Penurunan konsumsi rumah tangga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan mengingat konsumsi adalah motor utama ekonomi Indonesia. Kelas menengah dan calon kelas menengah, populasi terbesar di Indonesia, menyumbang konsumsi nasional masing-masing sebesar 38,28% dan 43,21%. Kebijakan yang potensial menekan konsumsi kelompok ini, akan berdampak tak kecil pada keseluruhan konsumsi nasional.
Berikut ini berbagai rencana kebijakan pungutan baru yang potensial menekan kekuatan daya beli masyarakat tahun depan:
1. PPN 12%
Dalam pernyataan terakhir, Sri Mulyani mengatakan, Pemerintah RI saat masih menyiapkan perhitungan untuk penerapan PPN 12% hanya untuk barang mewah.
Kebijakan tersebut akan diterapkan konsisten dengan asas keadilan, kata Sri, tanpa memperjelas apa yang dimaksud dengan 'keadilan' tersebut. "Nanti kami akan mengumumkan dengan Kemenko Perekonomian dalam rangka memberikan paket lebih lengkap," kata dia.
Tarif PPN 12% akan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tarif value added tax (VAT) tertinggi di kawasan ASEAN bersama Filipina. Hitungan Kementerian Keuangan, kenaikan tarif tersebut akan menambah penerimaan negara dari pajak sekitar Rp70 triliun.
2. Opsen pajak
Mulai 5 Januari nanti, Pemerintah Daerah akan memberlakukan opsen pajak alias tambahan pajak (surcharge tax) atas Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBKNB) dengan tarif hingga 66%. Kebijakan itu mendapat dasar hukum Undang-Undang (UU) No 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
"Provinsi-provinsi utama di Pulau Jawa akan mengalami kenaikan harga mobil dan motor OTR [on the road] antara 4%-7%, serta kenaikan pajak kendaraan tahunan hingga 33%," kata Satria Sambijantoro, Head of Research Bahana Sekuritas dalam kajian yang dilansir pekan lalu.
3. Pengalihan Subsidi BBM jadi BLT
Pemerintah berencana menetapkan kebijakan pengalihan sebagian subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi bantuan langsung tunai (BLT) pada awal 2025. Kebijakan itu secara garis besar akan mengalihkan sebagian alokasi subsidi BBM menjadi BLT. Sementara sisa alokasi subsidi akan menggunakan skema subsidi berbasis kuota terhadap komoditas/barang.
Peralihan sebagian subsidi BBM jadi BLT melempar sinyal harga BBM akan dilepas ke harga keekonomian, dibarengi dengan pemberian kompensasi berupa BLT bagi kalangan yang dinilai membutuhkan. Yang jadi persoalan, data penerima BLT acapkali tidak akurat dan sesuai target.
Jika permasalahan data tersebut tidak diatasi, masyarakat golongan menengah ke bawah yang tidak mendapatkan BLT akan tertekan. “Tapi yang sisanya yang tidak [dapat BLT] memang relatif sulit untuk dipilih ya ini dan juga mereka agak keteteran kalau misalkan nanti terjadi multi round effect yaitu inflasi," komentar ekonom energi dari Universitas Padjajaran Yayan Satyakti.
4. Asuransi wajib kendaraan bermotor
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) memuat kewajiban asuransi wajib kendaraan bermotor.
Kebijakan itu mengubah yang berlaku saat ini di mana asuransi third party liability (TPL) kendaraan bermotor sifatnya masih sukarela.
Dalam UU itu, sesuai pasal 39A, pemerintah berwenang membentuk program asuransi wajib yang mencakup asuransi kendaraan berupa tanggung jawab hukum pihak ketiga (TPL) terkait kecelakaan lalu lintas, asuransi kebakaran, dan asuransi rumah tinggal terhadap risiko bencana.
Aturan tersebut saat ini masih dalam tahap menunggu Peraturan Pemerintah (PP) setelah mendapat persetujuan dari DPR-RI.
5. Iuran BPJS Kesehatan
Pemberlakuan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), menggantikan kelas 1, 2 dan 3 BPJS Kesehatan akan dimulai pada Juli 2025 dengan perubahan tarif iuran yang juga diatur dalam Perpres Nomor 59/2024 tentang Jaminan Kesehatan Nasional.
Namun, dalam pernyataan terakhir Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan tidak akan ada kenaikan iuran BPJS tahun depan karena kondisi keuangan BPJS masih aman.
Saat ini, iuran BPJS berdasarkan pembagian kelas dipatok sebesar Rp150.000 untuk kelas 1, lalu Rp100.000 kelas 2 dan Rp42.000 untuk kelas 3.
6. PPh UMKM
Tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebesar 0,5% yang diberlakukan sejak 2018 ditetapkan berlaku sampai 7 tahun.
Alhasil, setelah 7 tahun yakni pada tahun depan, tarifnya akan kembali diberlakukan normal sebesar 1%. Kebijakan itu berlaku bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun.
7. Cukai Rokok dan MBDK
Kebijakan ini sejatinya baik dalam perspektif mendukung peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Namun, kenaikan cukai bisa mempengaruhi pengeluaran masyarakat.
Kenaikan tarif cukai diberlakukan di tingkat eceran untuk rokok konvensional dan rokok elektrik.
Sementara cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) belum ditetapkan kenaikannya. Untuk tahun depan, Pemerintahan Prabowo Subianto menetapkan pendapatan cukai MBDK senilai Rp3,8 triliun.
8. Subsidi KRL berbasis NIK
Pemerintah berencana memberlakukan penyesuaian subsidi tarif kereta rel listrik (KRL) berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Tujuannya, agar subsidi disalurkan lebih tepat sasaran.
Rencana itu disebut dalam dokumen Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.
Dokumen tersebut belum memperinci kriteria pemegang NIK yang berhak mendapatkan tarif tiket bersubsidi untuk layanan KRL Jabodetabek.
9. Uang Kuliah Tunggal (UKT)
Pada tahun ini, kenaikan UKT dibatalkan menyusul protes keras dari banyak kalangan karena dinilai memberatkan keuangan masyarakat terutama para orang tua yang menyekolahkan anak di Perguruan Tinggi.
Namun, tidak ada kepastian apakah penundaan itu berlaku juga tahun depan. Joko Widodo, Presiden RI yang menjabat ketika itu, menyatakan, rencana kenaikan UKT akan dievaluasi dan kemungkinan baru akan berlaku tahun depan atau pada 2025.
“Kemudian kenaikan setiap universitas akan dikaji dan dikalkulasi sehingga kemungkinan nanti ini kebijakan di Mendikbud akan dimulai kenaikannya di tahun depan. Jadi ada jeda tidak langsung seperti sekarang,” kata Jokowi, akhir Mei lalu.
Pasalnya, Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar BOP Perguruan Tinggi, dan Kepmendikbudristek Nomor 54 Tahun 2024 yang mengatur tentang besaran standar tersebut (UKT), belum dibatalkan sejauh ini.
10. Dana Pensiun Wajib Pekerja
Pemerintah berniat mewajibkan para pekerja mengikuti program dana pensiun baru, di luar program Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini sudah berlaku.
Aturan itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) pasal 189 ayat 4.
Kebijakan ini menunggu aturan turunan yaitu Peraturan Pemerintah.
(rui)