Ekonom Bloomberg Economics menilai, angka inflasi inti CPI yang kuat pada November akan memicu kekhawatiran di kalangan minoritas dalam FOMC (pertemuan komite The Fed) bahwa disinflasi telah terhenti.
Deflator PCE inti bisa naik ke level 2,9% dalam dua bulan terakahir tahun ini. "Kami masih berpikir FOMC Desember sedikit lebih mungkin untuk memangkas bunga lagi, akan tetapi berpikir hal itu sudah pasti," kata Anna Wong, Chief US Economist di Bloomberg Economics, dilansir dari kajiannya setelah data inflasi dirilis tadi malam.
Penguatan indeks dolar AS telah menekan rupiah di pasar forward, yang seringkali menjadi cerminan pergerakan rupiah di pasar spot. Rupiah Nondeliverable Forward 1 bulan makin tertekan usai data inflasi tersebut, ditutup di Rp15.965/US$. Pagi ini, rupiah NDF juga masih melemah di kisaran tersebut.
Tekanan jual obligasi
Pada penutupan pasar kemarin, rupiah ditutup melemah di Rp15.915/US$ akibat tertekan arus jual di pasar surat utang negara yang juga terseret sentimen eksternal.
Yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor pendek 2Y naik, masih di kisaran 6,91%. Sedangkan tenor 10Y kini ada di 6,94%. Adapun tenor 30Y ada di 7,09%.
Kegairahan di pasar saham kemarin yang semula melambungkan IHSG juga menyusut di ujung perdagangan dengan penguatan indeks hanya 0,15% di level 7.464.
Bila sentimen bearish pasar obligasi global masih berlanjut menekan pasar surat utang RI hari ini, rupiah masih akan sulit bangkit.
Dengan posisi saat ini sudah di Rp15.915/US$, rupiah semakin mendekati level psikologis Rp16.000/US$ bila level support di Rp15.950/US$ tertembus.
Hari ini, pelaku pasar akan menunggu rilis data inflasi Indeks Harga Produsen (PPI) AS. Konsensus pasar memperkirakan inflasi PPI pada November sebesar 0,2% month-to-month, tidak berbeda dengan bulan sebelumnya. Secara tahunan, inflasi PPI diperkirakan naik jadi 2,6% dari bulan sebelumnya 2,4%.
Adapun inflasi inti PPI diprediksi sebesar 0,2%, melandai dibanding bulan sebelumnya 0,3%. Secara tahunan, inflasi inti PPI diramal sebesar 3,2% lebih tinggi dibanding bulan September 3,1%.
Sementara dari dalam negeri, Kementerian Keuangan RI kemarin melaporkan angka defisit APBN 2024 hingga posisi November meningkat hingga Rp401,8 triliun atau 76,8% dari porsi total yang ditetapkan sepanjang tahun ini. Defisit yang meningkat itu terjadi ketika keseimbangan primer masih membukukan surplus.
Laporan kinerja keuangan negara juga memperlihatkan penerimaan pajak yang melempem. Hingga November, penerimaan dari pajak hanya Rp1.688,93 triliun, cuma naik 1% year-on-year.
Laju penerimaan pajak yang lesu itu karena penurunan pajak peghasilan minyak dan gas (PPh Migas) yang turun 8,03% menjadi Rp58,89 triliun.
Adapun penerimaan dari PPh nonmigas juga cuma naik 0,43%. Praktis, yang masih mencatat pertumbuhan baik hanya sumbangan penerimaan dari pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dengan kenaikan 8,17%, didukung oleh perbaikan aktivitas ekonomi dalam negeri juga industri minyak kelapa sawit.
Analisis teknikal
Secara teknikal nilai rupiah berpotensi melanjutkan tren pelemahan hari ini menuju level Rp15.950/US$ yang menjadi level support terdekat sebelum break support psikologis di kisaran Rp15.980/US$-Rp16.000/US$.
Apabila kembali break support tersebut, rupiah berpotensi melemah lebih lanjut ke level Rp16.050/US$ sebagai support terkuat.
Dalam tren jangka menengah (Mid-term), rupiah berpotensi melemah ke level Rp16.100/US$ usai breakout support terkuat.
Bila terjadi penguatan, resistance menarik dicermati pada level Rp15.900/US$ dan selanjutnya Rp15.850/US$ sebagai resistance potensial.
(rui)