Logo Bloomberg Technoz

Penurunan harga baterai yang lebih cepat dari perkiraan tersebut menandakan bahwa harga EV berpeluang turun ke level yang sama dengan kendaraan bermesin pembakaran internal atau internal combustion engine (ICE) paling cepat pada 2026.

Pada tahun tersebut, harga rata-rata baterai diperkirakan turun di bawah US$100/kWh, patokan yang sering dirujuk sebagai titik paritas harga. Hal ini telah tercapai di pasar China, di mana harga baterai EV rata-rata berada di bawah harga baterai bertenaga bensin, menurut laporan tersebut.

“China sendiri diperkirakan memproduksi sel baterai yang cukup untuk memenuhi 92% dari total permintaan global sebesar 1,2 terawatt hour (tWh) untuk segmen EV dan penyimpanan stasioner pada tahun 2024,” kata laporan tersebut, dikutip Bloomberg.

“Hal ini memberikan tekanan ke bawah pada harga baterai. Produsen yang lebih kecil ditantang oleh rekan-rekan mereka yang lebih besar, ditekan untuk menurunkan harga sel dan memangkas margin untuk pangsa pasar.”

Namun, kelebihan pasokan baterai EV sepertinya tidak akan menjadi hal yang biasa. Sel EV lebih bergantung pada volume penjualan mobil, yang menghubungkan produksi dan pengiriman dengan jumlah kendaraan yang dikirim.

Produsen baterai cenderung tidak memproduksi sel EV berlebih karena permintaan global melambat, kata BNEF.

Dengan menggunakan data harga dan volume yang dikumpulkan sejak 2010, BNEF memperkirakan harga paket baterai akan turun di bawah US$100/kWh pada 2026 dan mencapai US$69/kWh pada 2030.

Namun, faktor geopolitik dan perubahan kebijakan menambah ketidakpastian pada prospek adopsi EV pada masa mendatang dan, pada gilirannya, harga baterai.

Di Eropa, pemerintah termasuk Prancis dan Jerman memangkas subsidi untuk EV lebih awal dari yang diharapkan.

Perlambatan yang diakibatkannya telah menyebabkan lobi untuk melonggarkan target CO2 kendaraan jangka pendek dan rencana jangka panjang untuk menghentikan penjualan kendaraan bermesin pembakaran internal.

Sementara itu, Presiden terpilih Donald Trump telah mengancam akan mengenakan tarif 60% pada impor dari China dan tarif 10%-20% pada impor dari tempat lain

“Menavigasi rezim tarif yang berubah akan tetap menjadi tantangan utama bagi pemasok dan pelanggan baterai,” kata laporan itu.

Ilustrasi Baterai Litium-ion (Sumber: Kiyoshi Ota/Bloomberg)

Pada perkembangan lain, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tri Winarno mengatakan permintaan baterai EV ke depan kemungkinan tidak akan eksponensial, berbanding terbalik dengan batu bara yang masih akan banyak dicari sebagai sumber energi.

Menurut pandangan pribadinya, kembalinya Trump sebagai Presiden ke-47 AS menghidupkan kembali kebijakan yang cenderung mendukung penggunaan energi fosil, seperti sektor minyak dan gas bumi (migas) serta batu bara.

Dugaan tersebut kian menguat setelah Trump memilih Chris Wright sebagai Menteri Energi AS. Wright dikenal lebih pro terhadap energ fosil alih-alih menggencarkan program transisi energi.

“Berarti kebijakan Trump ke depan akan lebih condong kepada energi fosil. [Wright], dia fully pro fosil kemudian diangkat menjadi Menteri Energi,” kata Tri dalam kegiatan Bisnis Indonesia Economic Outlook 2025, dikutip Rabu (11/12/2024).

Imbas dari orientasi kebijakan sektor energi Trump tersebut, lanjut Tri, adalah teresendatnya ambisi transisi energi yang telah dideklarasikan pertama kali dalam COP 26. Tidak hanya itu, menurutnya, batu bara bisa dipastikan tetap akan digunakan sebagai bauran energi primer dunia. 

“Apabila ini dilakukan, maka maka transisi energi kurang begitu [tercapai]. Maka, [pertumbuhan permintaan] EV battery dan lain sebagainya itu tidak akan eksponensial dalam empat tahun ini paling enggak,” ucap Tri dalam pandangan pribadinya.

Sebelumnya, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq juga mengatakan harga migas yang mahal, ditambah ketidakstabilan produksi energi baru terbarukan (EBT), membuat batu bara akan tetap menjadi sumber energi yang andal dan terjangkau, terutama di negara-negara berkembang Asia dan Afrika.

"Bahkan, program global kendaraan listrik atau EV akan membutuhkan pasokan energi yang murah dan stabil, baik untuk proses produksi maupun pengisian daya [charging], di mana batu bara masih dapat memainkan peran penting," ujar Julian kepada Bloomberg Technoz.

(wdh)

No more pages