“Trump akan mengambil kebijakan populis dengan memotong pajak korporasi tetapi juga memotong banyak benefit yang dinikmati masyarakat. Dampaknya kebijakan ini masih dipantau,” terang Sri Mulyani.
Beberapa kebijakan Trump juga bisa memicu ketegangan. Seperti yang terlihat belakangan ini ketika Trump mengancam akan memberikan tarif bea masuk 100% bagi negara-negara BRICS yang tidak menggunakan Dolar AS. Pada sisi yang lain kebijakan tarif ini juga akan digunakan kepada China.
“Jadi instrumen keuangan terutama tarif perdagangan jadi instrumen proxy. Dari sisi ketegangan persaingan politik dan keamanan politik akan berdampak langsung ke perekonomian. Ini akan mempengaruhi seluruh dunia,” terangnya.
“Kebijakan tarif ini juga bisa berdampak pada kenaikan inflasi dan mempengaruhi suku bunga acuan AS. Muncul pertanyaan bunga acuan AS apakah akan jadi turun dan bila turun seberapa cepat. Ini bisa mempengaruhi global capital flow.”
Dari sisi negara berkembang ada faktor harga komoditas yang harus dipelototi. Pertemuan menteri energi yang pro bahan bakar foksil dengan komitmen terhadap perubahan iklim akan membuat harga minyak tertahan.
Ada juga maslah ketidakpastian dan disrupsi rantai pasok karena geopolitik dan embargo ekspor chip yang menyebabkan ketidakpastian arus barang.
“Arus dana tersedot ke AS, arus barang tidak pasti karena geopolitik dan langkah embargo. Ini harus diantisipasi karena ini baru saja tahap awal. Fenomena ini mungkin masih akan berkembang di 2025 dan harus diantisipasi terhadinya disrupsi hambatan perdagangan yang mengalami eksalasi dan antisipasi volatilitas harga komoditas. Ada juga antisipasi tren dolar menguat dan penggunaan dolar maupun dari sisi kebijakan perdagangan AS,” pungkas Sri Mulyani.
(roy)