Dari sisi izin usaha pertambangan (IUP) nikel, lanjut Tri, sebanyak 70% pemegang lisensi tambang nikel di Indonesia adalah perusahaan lokal, sedangkan hanya 30% yang asing.
Akan tetapi, dia mengakui, kondisi tersebut berkebalikan dengan pemegang izin usaha smelter nikel yang 70% dikuasai asing, dan hanya 30% yang merupakan pemain lokal.
Tri pun menyebut hilirisasi sektor pertambangan mineral lainnya masih belum bisa berkembang sepesat nikel. Indonesia padahal ingin agar hilirisasi sektor pertambangan dapat dijadikan tulang punggung pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik.
“Kalau bauksit dan hilirisasi lainnya saya rasa belum begitu berkembang,” ujarnya.
Menurut Tri, salah satu penyebab komoditas mineral lain masih sulit ‘dihilirkan’ adalah lokasinya yang terpencil dan sulit dijangkau. Walakin, dia menilai hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan lantaran hilirisasi komoditas tembaga di Papua saja bisa sukses dilakukan oleh PT Freeport Indonesia (PTFI).
“Kalau pernah ke Freeport, pada 1967 [...] pada saat itu Freeport belum ada progres yang signifikan. Jadi bisa dibayangkan kalau daerah remote area dan sebagainya, tetapi pun sampai sekarang masih bisa eksis,” terangnya.
Tak Semudah Nikel
Pada kesempatan terpisah, Direktur Utama Freeport Tony Wenas mengamini tantangan hilirisasi tembaga dan bauksit yang tidak semudah nikel di Indonesia.
Menurut Tony, di industri pertambangan tembaga, nilai tambah terbesar dapat diperoleh dari investasi smelter untuk mengolah bijih tembaga menjadi konsentrat tembaga. Akan tetapi, nilai tambah dari menghilirkan konsentrat ke tahap selanjutnya menjadi katoda tembaga justru sangat kecil.
Produksi konsentrat tembaga itulah yang selama ini menjadi tulang punggung penambang besar di Indonesia, seperti Freeport atau PT Amman Mineral International Tbk (AMMN); sebelum pemerintah menggaungkan kebijakan hilirisasi industri tambang yang memaksa perusahaan pertambangan tembaga untuk berinvestasi ke smelter katoda.
Berbeda dengan nikel, kata Tony, bijih tembaga memang tidak lagi jika dijual dalam bentuk mentah seperti nickel ore.
“Kalau nickel ore masih banyak yang mau beli, bauxite ore masih banyak yang mau beli, tetapi copper ore tidak ada yang mau beli. Nah, tetapi dia [tembaga] nilai tambahnya paling besar dari [penghiliran ke level] konsentrat,” kata Tony dalam agenda Indonesia Mining Summit, belum lama ini.
Dia menjelaskan nilai tambah yang dihasilkan dari penghiliran bijih tembaga ke konsentrat mencapai 95%. “Tetapi dari konsentrat tembaga menjadi katoda tembaga, itu cuma 5% nilai tambahnya,” ujarnya.
Kondisi tersebut terbalik dari komoditas nikel, di mana makin hilir produk turunan bijih yang dihasilkan, nilai tambahnya akan makin tinggi.
“Makanya, kalau dilihat angka-angka [ekspor nikel] dari US$2 miliar atau US$3 miliar lalu naik menjadi US$34 miliar, itu karena memang nilai tambahnya besar sekali. Mungkin sekitar 70%, yaitu dari proses smelter-nya,” terang Tony.
“Kalau di tembaga ini terbalik, di proses smelter-nya, nilai tambahnya kecil, tetapi di konsentrat, nilai tambahnya besar.”
Pemerintah sebelumnya memetakan 28 komoditas untuk dipacu proses penghiliran atau hilirisasinya, guna mendatangkan potensi pendapatan negara dari investasi senilai US$618,1 miliar (sekira Rp9,79 kuadriliun) setidaknya sampai dengan 2040.
Selain investasi, hilirisasi 28 komoditas itu digadang-gadang bisa mendatangkan devisa ekspor US$857,9 miliar (sekitar Rp13,59 kuadriliun), produk domestik bruto (PDB) US$235,9 miliar (sekitar Rp3,73 kuadriliun), serta serapan tenaga kerja sebanyak 3,01 juta orang.
Target investasi hilirisasi senilai Rp9,79 kuadriliun tersebut bahkan diharapkan dapat tercapai sekitar 50% dalam 5 tahun ke depan. Adapun, secara kumulatif, target investasi pada era pemerintahan Presiden Prabowo pada 2025—2029 mencapai Rp13.528 triliun.
(wdh)