“Berarti kebijakan Trump ke depan akan lebih condong kepada energi fosil. [Wright], dia fully pro fosil kemudian diangkat menjadi Menteri Energi,” kata Tri dalam kegiatan Bisnis Indonesia Economic Outlook 2025, dikutip Rabu (11/12/2024).
Imbas dari orientasi kebijakan sektor energi Trump tersebut, lanjut Tri, adalah teresendatnya ambisi transisi energi yang telah dideklarasikan pertama kali dalam COP 26. Tidak hanya itu, menurutnya, batu bara bisa dipastikan tetap akan digunakan sebagai bauran energi primer dunia.
“Apabila ini dilakukan, maka maka transisi energi kurang begitu [tercapai]. Maka, [pertumbuhan permintaan] EV battery dan lain sebagainya itu tidak akan eksponensial dalam empat tahun ini paling enggak,” ucap Tri dalam pandangan pribadinya.
Sebelumnya, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq juga mengatakan harga migas yang mahal, ditambah ketidakstabilan produksi energi baru terbarukan (EBT), membuat batu bara akan tetap menjadi sumber energi yang andal dan terjangkau, terutama di negara-negara berkembang Asia dan Afrika.
"Bahkan, program global kendaraan listrik atau EV akan membutuhkan pasokan energi yang murah dan stabil, baik untuk proses produksi maupun pengisian daya [charging], di mana batu bara masih dapat memainkan peran penting," ujar Julian kepada Bloomberg Technoz.
Oversupply Baterai
Pada saat bersamaan, gelombang proyek pabrik baterai yang sedang dibangun di seluruh dunia diproyeksi menghasilkan sel baterai jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan perekonomian global, BloombergNEF memperingatkan dalam sebuah laporan.
Permintaan sel litium-ion memang akan berkembang pesat, seiring dengan produsen mobil yang melakukan elektrifikasi pada armadanya dan perusahaan utilitas memasang baterai berukuran besar untuk menstabilkan jaringan listrik.
Namun, para produsen telah mengumumkan begitu banyak pabrik baru sehingga kapasitasnya akan melebihi permintaan selama sisa dekade ini, menurut BNEF.
Pada akhir 2025, industri baterai global diestimasikan mampu memproduksi sel baterai lima kali lebih banyak dari yang dibutuhkan dunia pada tahun tersebut, demikian perkiraan BNEF dalam Electric Vehicle Outlook terbarunya.
Di sisi lain, penjualan EV diramal meningkat dari 13,9 juta pada 2023 menjadi lebih dari 30 juta pada 2027 dalam skenario transisi ekonomi BloombergNEF.
Namun, dalam empat tahun ke depan, penjualan mobil listrik diproyeksikan tumbuh rata-rata hanya sebesar 21% per tahun, dibandingkan dengan rata-rata 61% antara 2020 dan 2023.
Pangsa EV global dalam penjualan kendaraan penumpang diproyeksikan baru melonjak menjadi 33% pada 2027, dari 17,8% pada 2023.
Hanya China (60%) dan Eropa (41%) yang berada di atas rata-rata global tersebut saat itu, tetapi beberapa pasar mobil Eropa bergerak lebih cepat, dengan negara-negara Nordik di angka 90% dan Jerman, Inggris, dan Prancis semuanya jauh di atas 40%.
Di AS, kegelisahan pasar EV yang dipicu oleh hasil pilpres menjadi faktor yang akan memperlambat adopsi EV tahun ini, dan pada 2027 hanya 29% mobil yang dijual di negara tersebut yang bertenaga listrik. Jepang jauh tertinggal dari negara-negara maju lainnya.
Namun, teknologi dasar untuk EV terus menjadi lebih baik dan lebih murah, dengan banyak model kendaraan listrik baru yang lebih murah yang akan diluncurkan dalam beberapa tahun ke depan.
Beberapa tingkat pertumbuhan tercepat terjadi di negara-negara berkembang, dengan penjualan kendaraan listrik yang akan meningkat lima kali lipat di Brasil pada 2027 dan tiga kali lipat di India.
Armada (fleet) mobil listrik tumbuh cepat, meningkat menjadi lebih dari 132 juta pada 2027, dari 41 juta kendaraan listrik penumpang di jalan pada akhir 2023.
Prospek jangka panjang BloombergNEF untuk EV tetap cerah, meskipun ada tantangan jangka pendek. Peningkatan ekonomi kendaraan listrik mendukung pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan dalam adopsi EV.
EV diproyeksikan mencapai 45% dari penjualan kendaraan penumpang secara global pada 2030 dan 73% pada 2040 dalam skenario transisi ekonomi BNEF.
Meskipun ada kemajuan besar, Asia Tenggara, India, dan Brasil masih berada di bawah adopsi rata-rata global saat itu.
(wdh)