Bloomberg Technoz, Jakarta - Pemilihan Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) periode 2024-2029 berujung polemik dualisme kepemimpinan.
Pada awalnya, Munas PMI di Hotel Grand Sahid, Jakarta Selatan menetapkan Jusuf Kalla (JK) kembali melanjutkan masa jabatannya usai kembali terpilih sebagai ketua umum 2024-2029. Dia mendapatkan dukungan dari 490 pengurus PMI tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota; atau aklamasi.
Hasil tersebut menuai polemik. Rekan JK di Partai Golkar, Agung Laksono mengklaim mendapat jegalan untuk maju sebagai calon pada Munas PMI. Menurut dia, awalnya telah mengantongi persetujuan lebih dari 50% pengurus PMI.
Akan tetapi, dukungan tersebut merosot hingga tersisa hanya 6% menjelang pelaksanaan Munas. Hal ini membuat Agung tak bisa maju sebagai calon karena minimal harus memiliki dukungan 20% pengurus PMI.
Agung dan timnya pun menggelar Munas tandingan. Hasilnya, Munas tersebut memilih Agung Laksono sebagai Ketua Umum PMI 2024-2029. Dia pun berniat melaporkan hasil Munas tersebut ke Kementerian Hukum untuk mendapat legitimasi pemerintah.
Jusuf Kalla menilai Munas tandingan Agung cs merupakan tindakan ilegal. Dia pun berniat untuk melaporkan Agung cs ke kepolisian. Menurut dia, dualisme kepemimpinan PMI berpotensi membahayakan masyarakat karena lembaga tersebut berkaitan dengan bantuan kemanusiaan.
“Dan PMI hanya boleh ada 1 dalam suatu negara tidak boleh dua. Jadi kita sudah lapor polisi bahwa ada yang melaksanakan ilegal dan itu kebiasaan beliau,” tegas Jusuf Kalla.
“Itu legal, penghianatan. Kedua itu kebiasaan Pak Agung Laksono, dia pecah Golkar, dia bikin tandingan kosgoro, itu memang hobinya.”
Menurut JK, PMI juga memecat sejumlah orang atau pengurus yang terlibat dalam Munas tandingan Agung Laksono. "Sudah kita pecat karena melanggar AD/ART,” ujar dia.
Di sisi lain, Agung menilai janggal keputusan JK untuk melaporkan pelaksanaan munas tandingan dengan tuduhan pidana ke kepolisian. Dia pun tak khawatir terhadap laporan JK tersebut.
Menurut dia, dualisme kepengurusan sebuah lembaga bukan tindak kriminal. Hal ini hanya perlu diselesaikan secara administrasi di internal lembaga.
“Ini kami serahkan pada Kemenkumham, dari situlah yang punya kewenangan kan ada SK Kemenkumham-nya nanti,” ujar Agung.
(azr/frg)