“Tidak tertutup kemungkinan pikiran-pikiran seperti itu didiskusikan, saya tidak bisa mengatakan harus diterima sekarang. Karena kami juga harus mendengar masukan dan pandangan bukan saja dari lembaga-lembaga penegak hukum tapi juga dari para akademisi dan aktivis,” kata Yusril.
Menurut dia, sejak meratifikasi UN Convention Against Corruption pada 2006, pemerintah belum melakukan perubahan apa pun atas UU Tipikor. Padahal, menurutnya, UU tersebut harus disesuaikan dengan UN Convention Against Corruption dan UU KUHP nasional yang berlaku 2026 mendatang.
Yusril mengatakan semangat penegakan hukum dalam KUHP Nasional sudah jauh berbeda dengan semangat penegakan hukum yang Indonesia warisi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, yakni yang lebih menekankan pada penghukuman dan ‘balas dendam’.
Sementara Indonesia, lanjut Yusril, saat ini mengedepankan hukum penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan (restorative justice). Hal ini menurutnya juga serupa dengan amanat UN Convention Against Corruption yang menekankan pada pemulihan aset.
“Agak sedikit berbeda dengan yang sekarang ditekankan dalam Undang-Undang Tipikor yaitu aspek kerugian negaranya dan ini menjadi wacana yang harus segera kita selesaikan,” ujar Yusril.
(azr/frg)