Logo Bloomberg Technoz

Namun, ada dugaan kenaikan ekspektasi harga pada bulan-bulan ke depan tidak sekadar karena faktor siklikal aau cuaca. Ekonom memperkirakan, inflasi yang mulai merangkak naik juga sebagai imbas dari rencana penerapan tarif PPN yang lebih mahal. 

Berkaca pada kebijakan kenaikan PPN pada 2022 yakni dari 10% menjadi 11%, inflasi domestik melonjak tajam yaitu dari 1,56% menjadi 4,21%. Hal serupa kemungkinan akan terjadi untuk kenaikan kedua kali ke level 12%.

Kenaikan tarif PPN jadi 12% diperkirakan bisa menaikkan inflasi tahunan RI ke level 4,11% pada 2025, menurut hitungan ekonom Celios.

"Tekanan pada inflasi bahkan terjadi sebelum kebijakan tarif PPN 12%. Terdapat fenomena pre-emptives inflation atau inflasi yang mendahului tarif pajak baru," demikian dilansir dari kajian tim ekonom Celios di antaranya Nailul Huda dan Bhima Yudhistira, dikutip Selasa (10/12/2024).

Pre-emptives inflation berasal dari perilaku sebagian pelaku sektor usaha ritel, dan manufaktur yang menyesuaikan label harga untuk menjaga marjin keuntungan sebelum pemberlakuan tarif PPN yang baru.

Inflasi akan terkerek naik akibat kenaikan tarif PPN (Dok. Celios)

"Kekhawatiran pre-emptives inflation bisa dibaca dari ekspektasi kenaikan harga pada akhir tahun 2024 hingga kuartal I 2025, selain karena momentum seasonal libur natal tahun baru, terindikasi akibat pemberlakuan tarif PPN 12%," kata ekonom.

Kenaikan PPN membuat harga yang harus dibayarkan oleh konsumen terhadap barang dan jasa kena pajak meningkat sebesar 9%. Kenaikan harga tersebut bisa mengerak kenaikan indeks harga konsumen (IHK) sebesar 0,14%. Pada akhirnya, konsumsi rumah tangga dan dunia usaha bisa menurun hingga 0,37%, kata ekonom Celios.

Pemerintah sejauh ini memang tak mundur dan tetap akan menerapkan kebijakan yang potensial menekan daya beli masyarakat itu, kendati gelombang protes sudah keras terdengar dari berbagai kalangan.

Belakangan, Pemerintah RI berupaya memodifikasi kebijakan tersebut dengan hanya membatasi penerapannya pada barang-barang mewah.

Sampai saat ini, belum jelas apa saja yang termasuk kategori barang mewah yang dimaksud. Apakah hanya akan mengacu pada kategori barang mewah yang dikenakan PPnBM, atau akan ada perluasan kategori mewah supaya dampak kenaikan tidak terjadi ke semua barang di luar yang dikecualikan dalam Undang-Undang terkait.

Menurut pandangan ekonom, membatasi kenaikan PPN 12% ke kelompok barang mewah, yang sampai saat ini belum jelas kategorisasinya, tetap akan berdampak pada inflasi harga-harga di luar kategori mewah tersebut. Ujung-ujungnya, daya beli masyarakat tetap terdampak.

“Meskipun tarif PPN yang lebih tinggi secara teori ditujukan untuk barang-barang yang dianggap tidak esensial, dalam praktiknya, dampak tersebut merambat ke hampir semua lapisan masyarakat,” kata Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat.

Achmad mencontohkan, barang elektronik yang dianggap mewah seperti laptop atau ponsel pintar saat ini menjadi kebutuhan penting, terutama bagi masyarakat kelas menengah yang menggunakannya untuk bekerja atau belajar.

Jika harga barang naik akibat dampak rambatan kenaikan tarif PPN, maka kelompok masyarakat menengah ke bawah akan kesulitan untuk mengakses teknologi yang diperlukan kehidupan sehari-hari, memperpanjang kesenjangan digital. 

Efek rambatan juga akan terjadi akibat kebijakan itu. Misalnya, kenaikan tarif PPN pada kendaraan bermotor mewah bisa berdampak pula pada langkah efisiensi perusahaan otomotif dengan mengurangi tenaga kerja, misalnya. Apalagi ada kebijakan tambahan pajak alias opsen yang bisa mengerek harga mobil hingga potensial menekan penjualan.

Ketika penurunan penjualan akibat kenaikan pajak terjadi lantas memicu efisiensi, tren pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa berlanjut. Kelompok masyarakat yang bekerja di sektor-sektor pendukung konsumsi barang mewah, bisa terdampak.  

-- dengan bantuan laporan Azura Yumna.

(rui/aji)

No more pages