Hari ini dilangsungkan lelang rutin SUN oleh Kementerian Keuangan dengan target Rp22 triliun. Laporan hasil lelang belum dipublikasikan siang ini.
Tekanan jual juga melanda pasar saham di mana IHSG tergerus tipis pada penutupan pasar sesi pertama ke 7.419, mencerminkan pelemahan 0,24%.
Aksi ambil untung
Tekanan yang masih melanda rupiah akibat penjualan di pasar surat utang diduga adalah terdorong aksi ambil untung pemodal global, terpicu oleh kekhawatiran akan prospek ekonomi global tahun depan.
"Sebagian investor global tampak menjual investasi yang sudah menguntungkan mereka di pasar emerging, seperti di Indonesia, karena masih ada kekhawatiran akan ekonomi global," kata Myrdal Gunarto, analis Maybank Indonesia.
Selisih imbal hasil surat utang 2 tahun dan 10 tahun makin menyempit mencerminkan kekhawatiran investor terhadap prospek perekonomian RI dan pasar keuangan dalam jangka pendek.
Penyempitan itu juga mengindikasikan investor makin pesimistis akan potensi penurunan bunga acuan BI rate ke depan, menurut analisis Mega Capital Sekuritas.
Pada pekan pertama Desember, arus jual masih besar di pasar Surat Berharga Negara (SBN) maupun Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Asing membukukan net sell di dua instrumen itu masing-masing Rp18 triliun dan Rp13 triliun selama November.
Sedangkan di pasar saham asing membukukan net buy pekan lalu senilai US$18,7 juta, namun sepanjang kuartal ini masih membukukan net sell US$1,69 miliar.
Prospek ke depan pun dinilai masih cerah meski terbatas. Dalam riset terbaru yang dilansir, JP Morgan memperkirakan IHSG akan berada di level 7.900.
Head of Research & Strategy JP Morgan Henry Wibowo mendasari target tersebut dari transisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ke Prabowo Subianto yang dinilai mulus.
"Kami meyakini pemerintahan baru akan membawa kelanjutan kebijakan yang lebih baik dari pemerintahan sebelumnya, terutama dalam roadmap Indonesia Emas 2045," ujar Henry dalam riset, Selasa (10/12/2024).
Henry mengatakan, ketidakpastian usai pemilu di AS memang memberikan tantangan untuk pasar di Indonesia. Sikap higher for longer, ditambah dengan potensi perang tarif (Trade War 2.0) menyebabkan reli kurs dolar AS.
Menguatnya dolar AS memberikan dampak negatif untuk negara yang memiliki defisit neraca transaksi berjalan seperti Indonesia.
"Namun, pertumbuhan ekonomi yang lebih dari 50% -nya ditopang oleh konsumsi rumah tangga membuat prospek ekonomi Indonesia relatif lebih kuat dibanding peers di kawasan regional," jelas Henry.
"Indonesia mendapat rating overweight. Bursa saham RI saat ini ditransaksikan dalam posisi forward price to earning ratio (PER) 12 kali, level yang kami yakini menarik mempertimbangkan pertumbuhan earning per share (EPS) 10% dan rata-rata yield dividen 5%."
(rui)