Menurut dia, selama ini pemerintah sudah memiliki aturan untuk pengecualian PPN sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 tentang PPN Dibebaskan dan PPN atau PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean.
"Ya, pasti kalau perlu mengubah PP ya kita revisikan gitu aja. Kan ada ada PP 49, yang pengecualian PPN. Barangkali kalau sampai ke sana nanti kita koordinasi. Namun kan kemarin yang ditugaskan di Kemenkeu. Menkeu kan ditugaskan untuk menyusun itu," ujar Susi saat ditemui di Jakarta, Senin (9/12/2024).
Sekadar catatan, beberapa barang kena pajak atau jasa kena pajak yang dibebaskan dari PPN antara lain, kebutuhan pokok, jasa keuangan dan asuransi dan sebagainya.
Ahli Pajak: Pemerintah Seharusnya Ubah UU
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, secara hukum, UU HPP harus direvisi bila skema PPN di Indonesia berubah menjadi multitarif.
"Kalaupun pemerintah ingin menaikan [PPN] pada objek tertentu, seperti yang kena Pajak Penjualan atas Barang Mewah [PPnBM] saja, maka perlu mengubah UU dan itu akan menghabiskan waktu mengubah menjadi multi tarif. Padahal, kenaikan tarif PPN kurang dari sebulan lagi," ujar Fajry kepada Bloomberg Technoz, dikutip Senin (9/12/2024).
Hal yang sama juga diungkapkan Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono, yang menilai Pasal 7 Ayat 1 Huruf B UU HPP harus diubah. Sebab, pasal tersebut mengatur bahwa tarif PPN di Indonesia merupakan satu tarif yakni 12% mulai 1 Januari 2025.
Untuk mengubah tarif tunggal menjadi multitarif, kata Prianto, cara yang paling cepat untuk melakukan revisi Pasal 7 UU HPP adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) karena alasan kegentingan memaksa. Namun, cara demikian akan rentan diuji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Prianto mengatakan cara normal untuk merevisi ketentuan tarif pada UU HPP, sesuai pernyataan Dewan Perwakilan Rakyat, adalah dengan kembali mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) pajak.
"[Namun] cara ini akan membutuhkan waktu lebih lama dari penerbitan Perppu. Acuannya adalah UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," ujar Prianto.
Padahal, sesuai Pasal 7 UU HPP, pemerintah juga dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk dibahas bersama dengan RUU APBN Perubahan 2025. Cara demikian diatur pada Pasal 7 Ayat 3 dan 4 UU HPP.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, jika ingin menggunakan skema penerapan PPN menjadi multitarif, maka pemerintah harus merevisi UU HPP, khususnya pada Pasal 4.
"Karena ada dua tarif yang dikenakan pada PPN, yakni 11% dan 12%, maka perlu ada revisi UU HPP Pasal 4 khususnya Pasal 4A. Karena masalah single tarif PPN, barang yang kena PPN 12% atau tarif khusus harus disebutkan jelas di UU HPP pasal tersebut," papar Bhima kepada Bloomberg Techniz, Minggu (8/12/2024).
Bhima menegaskan sistem perpajakan di Indonesia tidak menerapkan skema multitarif pada pengenaan PPN. Makan itu, pemerintah harus mengubah pasal 4A tersebut dalam UU HPP untuk menjelaskan klausul multitarif yang akan diberlakukan.
"Pasal lain dalam UU HPP harus berubah, karena di UU HPP tidak mengenal multi tarif PPN. Jadi harus ada payung UU-nya," tutur Bhima.
(lav)