Logo Bloomberg Technoz

Sementara secara bulanan, penjualan ritel menghentikan tren kontraksi dua bulan beruntun. Pada November, penjualan eceran tumbuh positif 0,4% setelah pada bulan sebelumnya terkontraksi 0,01%.

Melihat lebih terperinci di tiap kelompok ritel, terlihat pada November lalu, subsektor yang masih mencatat pertumbuhan positif bulanan terutama adalah Kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi 8,4% setelah bulan sebelumnya terkontraksi hingga 6,9%. Lalu subkelompok Sandang juga tumbuh 1,3%, juga Perlengkapan Rumah Tangga lainnya 0,1%. 

Adapun penjualan subsektor Suku Cadang dan Aksesori masih terkontraksi (tumbuh negatif) sebesar 1,8% bulan lalu, begitu juga Bahan Bakar Kendaraan Bermotor turun 1,3%, lalu Barang Budaya dan Rekreasi yang tergerus 0,8%.

Sementara secara tahunan, subsektor Peralatan Informasi dan Komunikasi masih melanjutkan kontraksi dua bulan beruntun hingga pada November anjlok 25,6% dibanding penjualan periode yang sama tahun sebelumnya.

Begitu juga subsektor Perlengkapan Rumah Tangga lainnya dan Barang Budaya serta Rekreasi, kinerja lebih buruk dibanding tahun lalu dengan kontraksi tahunan masing-masing 6,1% dan 1,1%.

Kinerja Kuartalan

Secara kuartalan, kinerja penjualan eceran di Indonesia pada kuartal terakhir tahun ini diperkirakan anjlok dengan pertumbuhan hanya 1,6%, setelah pada kuartal sebelumnya masih tumbuh 5%.

Anjloknya kinerja kuartalan terutama karena capaian penjualan di beberapa subsektor yang masih membukukan pertumbuhan negatif, yakni Kelompok Peralatan Komunikasi dan Informasi. 

Subsektor ini diperkirakan akan makin dalam kontraksinya hingga 25,4% pada kuartal IV, setelah pada kuartal sebelumnya tumbuh negatif 11,6%.

Penting untuk dicatat, subsektor di mana termasuk di dalamnya adalah penjualan telepon seluler (ponsel), alat elektronik lain seperti tablet, televisi, radio, dan lain sebagainya; telah mencatat kontraksi pertumbuhan sejak 2019 secara kuartalan. Sementara secara tahunan, kontraksi telah berlangsung setidaknya sejak 2022.

Subsektor yang juga diperkirakan akan tumbuh negatif pada kuartal ini adalah Perlengkapan Rumah Tangga lainnya dengan kontraksi 6,3%. Sedikit lebih baik dibanding kuartal sebelumnya yang tumbuh negatif 6,6%.

Selanjutnya adalah subsektor Barang Budaya dan Rekreasi yang kemungkinan masih akan terkontraksi 0,9% kuartal ini, akan menjadi kontraksi terendah setahun terakhir.

Ekspektasi Inflasi Meningkat

Pada Desember ini, ekspektasi inflasi tercatat meningkat dengan Indeks Ekspektasi Harga Umum berada di 152,6, lebih tinggi ketimbang November. Faktor pemicu adalah variabel tahunan yakni kenaikan permintaan seiring kedatangan musim libur Nataru dan semester ganjil anak sekolah.

Hasil survei juga mendapati, ekspektasi inflasi meningkat pada Januari, terindikasi dari kenaikan Indeks Ekspektasi Harga Umum masing-masing jadi 157,8, lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya.

"Indeks Ekspektasi Harga yang naik pada Januari seiring dengan curah hujan yang tinggi. Sementara pada April, ekspektasi inflasi menurun dibanding periode sebelumnya karena normalisasi permintaan pasca-Idulfitri," jelas Bank Indonesia.

Inflasi akan terkerek naik akibat kenaikan tarif PPN (Dok. Celios)

Ekspektasi kenaikan harga yang terjadi dua bulan beruntun, diduga juga sebagai imbas dari rencana penerapan tarif PPN yang lebih mahal. Meski dalam pernyataan terakhir Pemerintah menyatakan kebijakan PPN 12% hanya akan diberlakukan pada barang mewah, masih kurang jelas kategori barang yang termasuk apa saja.

Berkaca pada kebijakan kenaikan PPN pada 2022 yakni dari 10% menjadi 11%, inflasi domestik melonjak tajam yaitu dari 1,56% menjadi 4,21%. Hal serupa kemungkinan akan terjadi untuk kenaikan kedua kali ke level 12%.

Kenaikan tarif PPN jadi 12% diperkirakan bisa menaikkan inflasi tahunan RI ke level 4,11% pada 2025, menurut hitungan ekonom Celios.

"Tekanan pada inflasi bahkan terjadi sebelum kebijakan tarif PPN 12%. Terdapat fenomena pre-emptives inflation atau inflasi yang mendahului tarif pajak baru," demikian dilansir dari kajian tim ekonom Celios di antaranya Nailul Huda dan Bhima Yudhistira. 

Pre-emptives inflation berasal dari perilaku sebagian pelaku sektor usaha ritel, dan manufaktur yang menyesuaikan label harga untuk menjaga marjin keuntungan sebelum pemberlakuan tarif PPN yang baru.

"Kekhawatiran pre-emptives inflation bisa dibaca dari ekspektasi kenaikan harga pada akhir tahun 2024 hingga kuartal I 2025, selain karena momentum seasonal libur natal tahun baru, terindikasi akibat pemberlakuan tarif PPN 12%," kata ekonom.

(rui/aji)

No more pages