Secara teknikal dengan perspektif mingguan (weekly time frame),batu bara masih tersangkut di zona bearish. Tercermin dari Relative Strength Index (RSI) yang sebesar 38,99. RSI di bawah 50 mengindikasikan suatu aset sedang dalam posisi bearish.
Akan tetapi, menariknya indikator Stochastic RSI sudah menyentuh angka 0. Paling kecil, sudah sangat jenuh jual (oversold).
Oleh karena itu, sebenarnya harga batu bara masih berpeluang naik. Target resisten terdekat adalah US$ 140/ton yang menjadi Moving Average (MA) 5. Jika tertembus, maka US$ 143/ton boleh menjadi target selanjutnya.
Adapun target support terdekat adalah US$ 128/ton. Penembusan di titik ini berisiko membuat harga batu bara terpangkas ke arah US$ 126/ton.
Batu Bara adalah Kunci
Meski kesadaran akan kelestarian lingkungan makin besar, tetapi ketergantungan dunia akan batu bara tidak bisa dilepaskan begitu saja. Masih banyak negara yang membutuhkan energi fosil ini untuk menggerakkan perekonomian.
Salah satunya adalah India. Mengutip Bloomberg News, Global Energy Monitor (GEM) memandang pesatnya laju industri baja di India membuat negara tersebut masih akan bergantung kepada batu bara. Ini membuat target net zero emission pada 2070 menjadi sulit tercapai.
Kapasitas produksi baja India kini menjadi yang terbesar di dunia, melampaui China, Kebijakan Industri Baja India menyatakan, batu bara masih digunakan untuk proses produksi ketimbang beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan.
“Penguncian diri di batu bara membuat target net zero emission bisa mundur. Sebab, menghilangkan jejak karbon di rantai pasok juga akan sangat sulit,” tegas Peneliti GEM Henna Khadeeja.
India saat ini adalah penyumbang emisi karbondioksida terbesar ketiga di dunia. Industri baja berkontribusi sekitar 12% dalam emisi karbondioksida di India pada 2022. Pembangunan infrastruktur yang masif akan mendorong angka itu makin tinggi.
Pemerintah India menargetkan produksi baja pada 2030 bisa mencapai 300 juta ton. Hampir 2 kali lipat dibandingkan tahun fiskal 2022-2023.
(aji)