Langkah ini, yang dilakukan menjelang kembalinya Donald Trump ke kursi kepresidenan dengan agenda anti-China yang agresif, telah memicu lonjakan harga dan mengacaukan aliran perdagangan. Produsen bergegas mencari pasokan alternatif untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Pemerintah China juga menyatakan untuk pertama kalinya bahwa pembatasan ekspor ini berlaku tidak hanya untuk barang buatan China, tetapi juga barang dengan komponen asal China yang dijual oleh vendor di dalam maupun luar negeri. Ini menunjukkan upaya Beijing meniru jangkauan sanksi ekstrateritorial yang diterapkan oleh AS dan Uni Eropa.
Pembatasan Komponen Drone
Batasan pengiriman komponen drone dari China telah memengaruhi perusahaan di AS dan Eropa, menurut sumber. Produsen China membatasi pengiriman motor, baterai, dan pengendali penerbangan atau bahkan menghentikan pengiriman sepenuhnya.
“Saya mendengar cerita seperti ini setiap dua atau tiga hari,” kata Lorenz Meier, CEO Auterion, perusahaan penyedia perangkat lunak untuk drone yang digunakan di Ukraina. “Saya yakin ini akan semakin meningkat dengan pembatasan baru.”
Pada Oktober lalu, China menjatuhkan sanksi terhadap tiga perusahaan AS yang memasok ke militer AS serta sepuluh pejabat pertahanan senior. Langkah ini diambil sebagai respons atas rencana Pentagon untuk memberikan bantuan militer kepada Taiwan. Kemudian, pada 5 Desember, China menambahkan 13 perusahaan AS lainnya ke dalam daftar sanksi mereka dengan alasan serupa.
Kelompok perusahaan yang baru disanksi itu termasuk Shield AI Inc, sebuah perusahaan rintisan yang mengembangkan pesawat otonom. Pesawat ini dirancang untuk beroperasi tanpa menggunakan GPS atau pilot jarak jauh, dan telah aktif digunakan di Ukraina, di mana drone memainkan peran penting dalam perang yang sedang berlangsung.
Menariknya, di hari yang sama ketika sanksi diberlakukan, Shield AI mengumumkan kemitraan barunya dengan Palantir Technologies Inc untuk memproduksi pesawat militer. Brandon Tseng, CEO Shield AI, menyatakan kepada Bloomberg News bahwa sanksi tersebut tidak akan berdampak besar pada perusahaannya. Ia juga menambahkan bahwa langkah ini menunjukkan upaya AS dalam mengembangkan "pencegahan yang kuat" yang diharapkan dapat mencegah konflik besar terkait Taiwan.
Hubungan dengan Taiwan
Taiwan terus mempererat kerja sama dengan negara-negara Eropa dalam pengembangan teknologi drone. Bulan lalu, Menteri Luar Negeri Taiwan memimpin delegasi untuk membahas topik tersebut di Lithuania, seperti dilaporkan oleh Bloomberg News.
Namun, juru bicara departemen perdagangan Komisi Eropa belum memberikan komentar terkait hal ini.
Di sisi lain, pengembang drone di Eropa mulai memindahkan rantai pasok mereka ke luar China. Menurut James Earl, mantan pilot militer Inggris yang kini mendirikan beberapa perusahaan drone, langkah ini sudah menjadi tren yang tak terhindarkan.
"Membeli komponen drone dari China tidak lagi bisa diterima di Barat," kata Earl. "Pembatasan China hanyalah bagian dari proses yang sudah dimulai sebelumnya."
Negara-negara Barat kini mendorong produksi dan perakitan drone di luar China demi mengamankan rantai pasok. Meski begitu, China tetap menjadi pusat produksi peralatan drone dengan harga murah. Berdasarkan laporan dari Center for Strategic and International Studies, China menguasai hampir 80% pasar drone komersial global.
Di Ukraina, banyak produsen kendaraan udara tak berawak (UAV) bergantung pada komponen dari China untuk menciptakan senjata murah yang efektif dalam perang melawan Rusia. Pada Juli lalu, China mengumumkan larangan ekspor drone untuk keperluan militer, dan menyatakan tidak menyediakan senjata bagi pihak mana pun dalam konflik tersebut.
Pengawasan AS
Beberapa lembaga pemerintah AS terus memantau isu ini. Menurut sumber yang mengetahui situasi ini, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan AS telah atau akan menghubungi perusahaan-perusahaan AS yang terdampak, serta sedang mencari pasokan alternatif untuk motor tanpa sikat, baterai, dan magnet.
Sementara itu, Departemen Pertahanan AS telah memasukkan produsen drone asal China ke dalam daftar hitam, dengan alasan adanya hubungan dengan militer China. Salah satu perusahaan yang masuk daftar adalah SZ DJI Technology Co dari Shenzhen, produsen drone konsumen terbesar di dunia. Perusahaan ini bahkan menggugat Pentagon atas keputusan tersebut.
Pejabat Eropa juga mengungkapkan bahwa perusahaan China sedang mengembangkan drone serang untuk Rusia, sebagaimana dilaporkan oleh Bloomberg News pada Juli lalu. Namun, pejabat China membantah tuduhan itu, menyatakan bahwa negaranya tidak memasok senjata untuk konflik Ukraina dan menerapkan pengawasan ketat terhadap ekspor barang-barang penggunaan ganda (dual-use).
AS menyatakan "sangat prihatin" terhadap dukungan China pada industri pertahanan Rusia, termasuk transfer komponen untuk drone serang. Kepala sementara Kantor Koordinasi Sanksi Departemen Luar Negeri AS, Tom West, menyebutkan bahwa China melampaui semua negara dalam ekspor komponen tersebut.
"Republik Rakyat China (RRC) mendorong kehancuran infrastruktur sipil Ukraina dan serangan tanpa henti terhadap warga sipil Ukraina yang tak bersalah," kata West dalam pernyataannya akhir pekan lalu.
Juru bicara Departemen Perdagangan AS menolak memberikan komentar. Pada Sabtu, Pentagon mengumumkan tambahan dukungan militer sebesar US$988 juta untuk Ukraina, termasuk sistem pesawat tak berawak.
Pembatasan ekspor China ini berpotensi memacu persaingan dari pemasok di Korea Selatan, Jepang, atau negara lainnya. Keegan McBride, peneliti kebijakan teknologi di Oxford Internet Institute, menilai bahwa keputusan ini diambil dengan perhitungan matang oleh Beijing.
"Ini jelas keputusan yang sudah dipertimbangkan," kata McBride. "Seberapa tegas mereka menjalankan aturan tersebut akan menjadi indikator seberapa serius niat mereka."
(bbn)