Logo Bloomberg Technoz

Untuk mengubah tarif tunggal menjadi multitarif, kata Prianto, cara yang paling cepat untuk melakukan revisi Pasal 7 UU HPP adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) karena alasan kegentingan memaksa. Namun, cara demikian akan rentan diuji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Prianto mengatakan cara normal untuk merevisi ketentuan tarif pada UU HPP, sesuai pernyataan Dewan Perwakilan Rakyat, adalah dengan kembali mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) pajak.

"[Namun] cara ini akan membutuhkan waktu lebih lama dari penerbitan Perppu. Acuannya adalah UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," ujar Prianto.

Padahal, sesuai Pasal 7 UU HPP, pemerintah juga dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk dibahas bersama dengan RUU APBN Perubahan 2025. Cara demikian diatur pada Pasal 7 Ayat 3 dan 4 UU HPP.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, jika ingin menggunakan skema penerapan PPN menjadi multitarif, maka pemerintah harus merevisi UU HPP, khususnya pada Pasal 4.

"Karena ada dua tarif yang dikenakan pada PPN, yakni 11% dan 12%, maka perlu ada revisi UU HPP Pasal 4 khususnya Pasal 4A. Karena masalah single tarif PPN, barang yang kena PPN 12% atau tarif khusus harus disebutkan jelas di UU HPP pasal tersebut," papar Bhima kepada Bloomberg Techniz, Minggu (8/12/2024).

Bhima menegaskan sistem perpajakan di Indonesia tidak menerapkan skema multitarif pada pengenaan PPN. Makan itu, pemerintah harus mengubah pasal 4A tersebut dalam UU HPP untuk menjelaskan klausul multitarif yang akan diberlakukan.

"Pasal lain dalam UU HPP harus berubah, karena di UU HPP tidak mengenal multi tarif PPN. Jadi harus ada payung UU-nya," tutur Bhima.

Tak Signifikan Dongkrak Penerimaan Negara

Dalam perkembangan lain, Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) Said Abdullah menyatakan kenaikan tarif PPN khusus untuk barang mewah tidak akan banyak mendongkrak penerimaan negara.

Said menjelaskan penerimaan negara dari pajak barang mewah yakni pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) saja terbilang kecil. Dia menyebut rata-rata penerimaan dari PPnBM sejak 2013—2022 hanya sekitar 1,3%, yang terdiri atas PPnBM dalam negeri dan PPnBM impor.

“Jika dalam kenaikan PPN hanya [diberlakukan untuk barang yang dikenai] PPnBM saja, maka tidak akan mampu mendongkrak target penerimaan pajak 2025 sesuai UU APBN 2025. Sebab PPNBM rata-rata saja sejak 2013—2022 dari pos penerimaan tidak sampai 2%,” ujar Said dalam keterangan resminya, Minggu (8/12/2024).

Senada dengan itu, Fajry mengatakan jika kenaikan hanya pada objek yang selama ini kena PPnBM maka kenaikan PPN menjadi 12% dilakukan secara sempit. Salah satu konsekuensinya adalah potensi penerimaan negara yang makin kecil.

Fajry memaparkan penerimaan PPnBM pada tahun lalu sekitar Rp24,9 triliun dan paling besar disumbangkan oleh kendaraan bermotor, di mana sebagian besar dikenakan tarif 15% atau tarif dari jenis mobil yang paling banyak dijual.

"Sudah pasti, kenaikan tarif PPN secara sempit ini tidak akan meningkatkan penerimaan pajak yang signifikan, hanya kecil saja. Perhitungan kasar kami, jika hanya dikenakan pada objek PPnBM, potensi penerimaannya hanya Rp1,7 triliun," ujarnya.

Sekadar catatan, anggaran pendapatan negara pada 2025 direncanakan sebesar Rp3.005,1 triliun, yang diperoleh dari sumber: a. Penerimaan Perpajakan; b. PNBP; dan c. Penerimaan Hibah.

Tak Selamatkan Daya Beli

Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat memandang kebijakan pemerintah menaikkan tarif PPN khusus barang mewah belum bisa menyelamatkan daya beli masyarakat menengah-bawah yang sedang tertekan.

Achmad menjelaskan,  kebijakan tersebut berlaku, maka akan terdapat kenaikan harga barang mewah. Ia menyatakan hal ini dapat memicu kenaikan harga barang lainnya di pasar, utamanya pada sektor yang memiliki rantai pasok panjang, seperti industri makanan, konstruksi, dan transportasi.

“Meskipun tarif PPN yang lebih tinggi secara teori ditujukan untuk barang-barang yang dianggap tidak esensial, dalam praktiknya, dampak tersebut merambat ke hampir semua lapisan masyarakat,” ucap Achmad dalam keterangan resminya, dikutip Minggu (8/12/2024).

Selain itu, Achmad mencontohkan, barang elektronik yang dianggap mewah seperti laptop atau ponsel pintar saat ini menjadi kebutuhan penting, terutama bagi masyarakat kelas menengah yang menggunakannya untuk bekerja atau belajar.

Ia menjelaskan, jika harga barang tersebut naik akibat dampak rambatan kenaikan tarif PPN, maka kelompok masyarakat menengah ke bawah akan kesulitan untuk mengakses teknologi yang diperlukan kehidupan sehari-hari.

Achmad menjelaskan, ketika terjadi inflasi atau kenaikan harga, produk yang sebelumnya dianggap kebutuhan sekunder dapat dengan mudah masuk ke kategori bawang merah. Seperti pada ponsel jenis tertentu yang sering digunakan untuk bekerja atau pendidikan, kini bisa dikenakan pajak yang lebih tinggi.

Berikutnya, terdapat efek domino yang timbul akibat penerapan tarif PPN yang lebih tinggi khusus barang mewah. Sebab, kata Achmad, ketika terjadi kenaikan PPN untuk kendaraan bermotor tertentu, maka dapat mempengaruhi industri turunannya seperti layanan perbaikan, asuransi, hingga suku cadang.

Ia menjelaskan, jika produsen dan penyedia jasa pada sektor tersebut menaikan harga untuk menyesuaikan peningkatan tarif PPN maka masyarakat menengah yang menggunakan produk atau layanan tersebut juga akan ikut tertekan.

Kebingungan Pelaku Usaha dan Konsumen

Selanjutnya, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai rencana pengubahan aturan itu akan menjadi persoalan baru, karena ini pertama kali ada skema pembedaan tarif PPN.

"Secara konsep PPN itu kan tarifnya sama, single tarif, hanya barangnya bisa dikecualikan. Kalau tarif PPN ada yang 11% dan 12% tentu jadi kebingungan bagi pelaku usaha dan konsumen sekaligus," ujar Bhima kepada Bloomberg Technoz, dikutip Senin (9/12/2024).

"Bagaimana misalnya satu toko ritel dia juga jual barang kena PPN 12% tapi juga ada barang PPN 11%, rumit sekali pencatatan pajaknya.”

Fajry juga mengatakan jika kebijakan multitarif diterapkan pada barang mewah yang bukan hanya menjadi objek PPnBM, hal ini akan menimbulkan kompleksitas dalam sistem PPN.

Menurut Fajry, pastinya akan terjadi peningkatan sengketa (dispute) di lapangan. Sebab, satu komoditas yang sama bisa memiliki tarif PPN yang berbeda.

"Multitarif sudah berlaku di Inggris, kasus yang unik antara kue dengan kue yang mengandung coklat itu tarifnya berbeda, di lapangan sering salah kasih tarif," ujarnya.

Selain itu, jika kenaikan tarif PPN hanya berlaku pada objek PPnBM saja, Fajry menilai lebih baik jika pemerintah menaikan tarif PPnBM saja.

"Ini menjadi pertanyaan besar, terlebih kenaikan tarif PPnBM bisa dinaikan lebih dari 1%. Lebih masuk akal untuk mendanai program pemerintah," ujarnya.

(dov/lav)

No more pages