Logo Bloomberg Technoz

“Dengan asumsi kontribusi emisi karbon Indonesia meningkat hingga 2%—3% akibat Food Estate di Merauke, kita berpotensi kehilangan waktu 5—10 tahun untuk mencapai target Net Zero Emission pada 2050,” ujarnya.

Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), pembangunan Food Estate di Merauke Papua Selatan juga mendorong terjadinya deforestasi besar-besaran. Dalam kurun setahun terakhir, rusaknya hutan di Papua Selatan meningkat lebih dua kali lipat menjadi 190.000ha selama 2022—2023.

Untuk itu, Celios mengusulkan langkah konkret untuk menghindari gelombang deforestasi, termasuk pengembangan produk ekonomi restoratif yang memanfaatkan keanekaragaman hayati tanpa merusak hutan.

Pendekatan ini tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan peluang kerja hijau yang mendukung masyarakat lokal. Studi CELIOS menyoroti menjaga hutan dan mengembangkan ekonomi restoratif adalah solusi yang lebih berkelanjutan.

“Dengan pendekatan ini, kontribusi emisi global Indonesia dapat ditekan menjadi hanya 1%—2%, sekaligus menjadikan Indonesia sebagai penyangga strategis penyerapan karbon global,” papar Media.

Lembaga think tank tersebut menegaskan solusi berbasis restorasi lingkungan lebih sejalan dengan visi pembangunan berkelanjutan dan target iklim Indonesia. Selain itu, model ekonomi restoratif juga memperkuat ketahanan pangan dari sumber yang berkelanjutan. 

“Saat ini, pembukaan lahan secara masif sudah mulai dilakukan di Papua Selatan. Mengingat implikasi serius dari proyek ini terhadap emisi karbon dan masa depan iklim, Celioc merekomendasikan penghentian kebijakan food estate di Merauke,” tegasnya. 

“Pemerintah perlu mengeksplorasi solusi ekonomi yang lebih berkelanjutan berbasis komunitas yang mampu memberikan manfaat ekonomi tanpa mengorbankan hutan dan ekosistem penting di kawasan tersebut.”

Presiden Jokowi meninjau lokasi pengembangan food estate atau lumbung pangan baru di Kalimantan Tengah, Kamis (8/10/2020). (Foto: BPMI Setpres)

Target Swasembada

Di lain sisi, kalangan ekonom juga meragukan klaim Kementerian Pertanian yang menyatakan Indonesia dapat mencapai swasembada beras pada 2027, bahkan menjadi eksportir pada 2028, melalui program cetak sawah seluas 1 juta hektare (ha).

Eliza Mardian, peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, mengaitkan keraguan tersebut dengan realisasi program Food Estate yang telah diimplementasikan oleh pemerintah pada masa sebelumnya, tetapi berujung pada kegagalan. 

Program Food Estate atau lumbung pangan nasional berfokus pada pengembangan sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan tertentu. Beberapa komoditas yang dikembangkan dalam kerangka kebijakan ini melibatkan cabai, padi, singkong, jagung, kacang tanah, dan kentang.

"Sudah terbukti dari berbagai kegagalan Food Estate dari era pak [Presiden] Soeharto yang PLG [Proyek Lahan Gambut], Food Estate [di wilayah] Ketapang dan Bulungan era SBY dan MIFFE [Merauke Integrated Food and Energy Estate]. Periode Pak Jokowi, berlanjut lagi kegagalannya di Kalteng dan Humbang Hasundutan," jelas Eliza saat dihubungi Bloomberg Technoz.

Sekadar catatan, MIFFE merupakan program pengembangan pertanian di lahan seluas 1,2 juta ha di wilayah Kabupaten Merauke, dan digadang-gadang akan mampu memperkuat ketahanan pangan nasional sekaligus berkompetisi di pasar ekspor pangan global.

Pada 2020, Presiden Joko Widodo kembali melakukan pengembangan kebijakan program  pertanian lewat Food Estate di Indonesia, termasuk di Papua, yang mentargetkan lahan proyek seluas lebih dari 2,6 juta ha untuk pembangunan kawasan lumbung pangan di tiga kabupaten, yakni; Merauke, Boven Digoel dan Mappi.

Berkaca pada hal tersebut, kata Eliza pemerintah perlu menjalankan program yang sesuai dengan kaidah ilmiah dan dilandasi kajian teknis yang matang.

Di samping itu, diperlukan pula kebijakan pertanian yang tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi, tetapi juga pada kesejahteraan petani sebagai ujung tombak sektor pertanian.

"Jika Food Estate berhasil, mungkin kita enggak impor. Pilihan kebijakan semestinya tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi saja, melainkan harus juga meningkatkan kesejahteraan para petaninya," katanya.

"Kalau pemerintah banyak melibatkan korporasi, ini petani akan tetap jadi buruh di negeri sendiri. Selain itu korporasi ini pun dikhawatirkan memonopoli pangan yang dapat mematikan pengusaha kecil. Selain itu juga pemerintah makin sulit melakukan intervensi harga jika dimonopoli perusahaan besar," tegasnya.

-- Dengan asistensi Pramesti Regita Cindy

(wdh)

No more pages