Dia juga tidak menampik pasar minyak dunia memang dipengaruhi oleh banyak faktor, tidak terkecuali kondisi geopolitik yang terjadi di regional tertentu.
“Tentunya kita prihatin dengan kejadian yang terjadi di Suriah dan tentunya dengan diplomasi, kita selalu mendorong supaya dunia, para pemimpin dunia, makin bijak dan bisa mencari jalan damai,” ujarnya.
Tekanan bagi Brent
Dari kalangan analis, harga minyak mentah Brent berisiko terkerek ke level US$80 per barel dalam jangka pendek, terimbas sentimen pemberontakan yang terjadi di Suriah yang berujung pada kaburnya Assad dari Damaskus.
Analis Mata Uang dan Komoditas Doo Financial Futures Lukman Leong menjelaskan, meski Suriah bukan produsen minyak utama dunia, negara itu merupakan negara sahabat produsen utama minyak dunia yakni Iran dan Rusia.
Walhasil, ketegangan yang terjadi dapat direspons oleh pasar sebagai eskalasi di kawasan produsen minyak.
“Untuk jangka pendek bisa ke US$80. Walau bukan produsen utama, Suriah didukung oleh Iran dan Rusia yang merupakan produsen besar,” ucap Lukman ketika dihubungi Bloomberg Technoz.
Minyak Brent untuk pengiriman Februari naik 0,4% menjadi US$71,40 per barel pada pukul 12:54 siang di Singapura. Harga berjangka turun 2,5% minggu lalu. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Januari naik 0,4% menjadi US$67,49 per barel.
Lukman juga mewaspadai apabila Iran dan Rusia terlibat lebih jauh dalam konflik yang terjadi di Suriah. Dia memprediksi jika kedua negara ini mengirimkan pasukan dan senjata dalam skala besar, maka bisa berdampak negatif bagi harga minyak dunia dalam jangka waktu panjang.
Kendati begitu, Lukman menegaskan dampak negatif berkepanjangan tersebut baru dapat muncul apabila pasokan minyak Iran dan Rusia terganggu.
“Namun, apabila terjadi eskalasi besar, saya melihat hal ini akan cenderung negatif untuk harga minyak karena sentimen risk off,” tegas Lukman.
Apabila terjadi gangguan pasokan akibat konflik yang membesar, Lukman memandang persoalan itu dapat diatasi oleh pasokan minyak dari Arab Saudi dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), di mana pasokan dari negara-negara ini masih dapat digenjot.
“Dan walau apabila ada gangguan pasokan, Arab Saudi/OPEC diperkirakan bisa menggenjot produksi. Iran dan Rusia sendiri juga tetap akan menjual minyak mereka ke negara-negara yang selama ini membeli dari mereka,” terang Lukman.
Presiden Suriah Bashar al-Assadtelah telah meninggalkan Damaskus, menurut berbagai laporan, setelah pasukan pemberontak memasuki ibu kota, menyusul invasi teritorial yang mengejutkan selama beberapa hari terakhir.
Penggulingan penguasa lama itu mengirimkan gelombang kejut ke seluruh Timur Tengah dan akan menjadi pukulan telak bagi Rusia dan Iran, pendukung asing utamanya.
Kelompok pemberontak Hayat Tahrir Al-Sham mengatakan di Telegram bahwa mereka telah memasuki Damaskus. Militer dan pasukan keamanan Suriah telah meninggalkan bandara Damaskus, kata AFP, mengutip Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, yang melacak konflik tersebut.
Pada Minggu pagi, AFP mengutip pernyataan kelompok pemberontak bahwa mereka telah merebut Homs, sebuah kota yang hanya berjarak dua jam berkendara dari istana Assad di Damaskus.
Runtuhnya pertahanan pemerintah Suriah secara cepat telah mengejutkan Rusia, Iran, AS, dan Israel. Pada tahun 2015, Rusia dan Iran datang membantu Assad dan membantu membalikkan keadaan dalam perang Suriah, tetapi Teheran dan Moskwa kini terbebani oleh konflik di Timur Tengah dan Ukraina.
Hal itu membuat tidak jelas apakah Assad dapat mengalahkan serangan terhadap Damaskus dan memastikan kelangsungan hidup pemerintahannya.
-- Dengan asistensi Azura Yumna Ramadani Purnama
(wdh)