Logo Bloomberg Technoz

HTS adalah penerus Nusra Front, afiliasi al-Qaeda, kelompok yang bertanggung jawab atas serangan 11 September di AS. Al-Jolani bergabung dengan al-Qaeda di Irak setelah invasi AS dan pernah ditahan oleh pasukan Amerika.

HTS dianggap sebagai organisasi teroris asing oleh AS dan negara-negara lain. Pemerintah AS menawarkan hadiah US$10 juta untuk informasi tentang Al-Jolani, dan masa lalunya memunculkan pertanyaan apakah ia telah benar-benar membersihkan elemen ekstremis di sekitarnya.

Dia mengklaim telah menjadi kekuatan moderat dan, sampai batas tertentu, berusaha melepaskan diri dari masa lalunya. Akar dari perubahan nama kelompoknya menjadi HTS terjadi pada 2017. “Saya katakan, jangan nilai dari kata-kata tetapi dari tindakan. Realitas berbicara sendiri. Klasifikasi ini sebagian besar bersifat politis dan keliru,” ujarnya dalam wawancara dengan CNN pada 6 Desember.

Al-Jolani, yang kini berusia 42 tahun, diperkirakan memimpin sekitar 15.000 pejuang dan akan fokus pada pembangunan pemerintahan lokal di kota-kota yang baru direbut, termasuk Damaskus, Aleppo, Hama, dan Homs. Pejuang dari kelompok pemberontak payung yang didukung Turki, National Liberation Front, juga bergabung dengan HTS.

Siapa saja kekuatan lokal lainnya?

Terdapat sisa-sisa pasukan yang setia kepada Assad yang, dengan bantuan Rusia, Iran, dan Hizbullah, sebelumnya berhasil membatasi wilayah yang dikuasai kelompok militan hingga sekitar sepertiga dari negara itu. Namun, pasukan ini tampaknya runtuh hanya dalam hitungan hari.

Ada pula Syrian National Army, kelompok pemberontak yang didukung Turki yang bekerja sama dengan pemberontak lain dalam serangan terhadap rezim. Meski tidak sepenuhnya solid, mereka memiliki tujuan bersama untuk menggulingkan rezim dan menahan kekuatan HTS.

Pemain lain adalah People’s Protection Units (YPG), sayap bersenjata Partai Persatuan Demokratik Kurdi di Suriah. Kelompok ini mencari otonomi bagi Kurdi Suriah dan bersedia bekerja sama dengan kekuatan mana pun yang dapat mendukung tujuannya.

Pergerakan pemberontak Suriah./dok. Bloomberg

Bagaimana peran pihak asing?

Kekuatan asing — termasuk Rusia, Iran, AS, dan Turki — memanfaatkan perang sebagai peluang memperluas pengaruh mereka di wilayah strategis ini. Saat ini, Rusia dan Iran — pendukung Assad — dipandang sebagai pihak yang kalah. Turki memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan, sementara posisi AS tampaknya sedang dalam transisi dengan pergantian presiden pada Januari.

Rusia, sekutu era Perang Dingin Suriah, mengubah jalannya perang untuk mendukung rezim Assad melalui kampanye pemboman pada 2015. Namun, perhatian Rusia kini teralihkan ke perang di Ukraina. Media negara, TASS, melaporkan bahwa Assad dan keluarganya diberi suaka di Rusia.

Iran mengerahkan Pasukan Pengawal Revolusi Islam ke Suriah untuk memastikan kelangsungan hidup rezim Assad, sekutu utamanya di Timur Tengah. Namun, konflik berkepanjangan telah melemahkan sekutu Iran, termasuk Hizbullah.

Turki, yang awalnya menjadi sekutu Assad pada awal pemberontakan 2011, kini memiliki peran yang lebih kompleks. Meski menjadi bagian dari koalisi pimpinan AS melawan ISIS, Turki juga kerap menyerang YPG, sekutu utama AS di Suriah.

AS, yang sebelumnya memberikan dukungan terselubung kepada pemberontak Suriah, kini mempertahankan kehadiran kecil di Suriah untuk memerangi sisa-sisa kelompok radikal seperti ISIS.

Bagaimana kondisi ekonomi Suriah?

Perang selama 14 tahun telah membawa dampak besar pada ekonomi Suriah. Menurut Bank Dunia, PDB Suriah pada 2020 telah menyusut lebih dari setengah dibandingkan sebelum perang sekitar US$60 miliar. Suriah kini diklasifikasikan sebagai negara berpenghasilan rendah sejak 2018.

Sektor pertanian, ekspor minyak, dan perdagangan legal telah lumpuh. Yang justru tumbuh adalah perdagangan ilegal narkotika, terutama pil Captagon, yang dikenal murah dan mudah diproduksi.

Ringkasan Sejarah: Mengapa Suriah menjadi wilayah konflik?

Setelah sempat berada di bawah mandat Prancis, Suriah meraih kemerdekaan pasca-Perang Dunia II. Namun, pada tahun 1966, sebuah kelompok pecahan dari Partai Baath yang dipimpin oleh perwira militer dari minoritas Alawit merebut kekuasaan. Peristiwa ini memastikan dominasi kelompok Alawit, sebuah cabang dari Islam Syiah, di negara yang mayoritas penduduknya, sekitar 74%, adalah Muslim Sunni. Selain itu, populasi Suriah juga mencakup komunitas Kristen, Druze, dan Kurdi yang cukup besar.

Hafez al-Assad, salah satu tokoh dalam kudeta 1966, melakukan kudeta balasan pada November 1970 terhadap rekan-rekan militernya. Ia kemudian membangun sebuah rezim yang didasarkan pada kekuasaan mutlak, kultus kepribadian, dan kekerasan terhadap lawan politiknya. Setelah putra sulungnya, Basel, meninggal dalam kecelakaan mobil pada 1993, Hafez mempersiapkan putra keduanya, Bashar, untuk menjadi penerus. Ketika Hafez meninggal pada tahun 2000, Bashar awalnya disambut baik oleh rakyat Suriah dan kekuatan Barat sebagai seorang reformis.

Namun, pada Maret 2011, gelombang protes pro-demokrasi yang dikenal sebagai Arab Spring juga melanda Suriah. Menggunakan strategi yang diwarisinya dari sang ayah, Bashar al-Assad menggunakan segala cara—termasuk senjata kimia—untuk menumpas perlawanan. Konflik ini kemudian berkembang menjadi perang sektarian, di mana komunitas Alawit mendukung Assad, sementara Muslim Sunni berada di pihak oposisi.

(bbn)

No more pages