Menurut catatan CSIS, pendapatan asli daerah (PAD) kawasan-kawasan tersebut juga meningkat, tidak hanya transfer ke daerahnya saja. Namun, peningkatan PAD itu berbanding terbalik dengan pertumbuhan konsumsi yang tidak banyak perubahan.
“Jadi, secara kesejahteraan, masyarakat yang bawah itu tidak begitu besar karena kebaikannya [efek pengganda dari hilirisasi nikel] juga enggak besar. Kalau income lokal per kapitanya, consumption-nya naik, tetapi naiknya juga masih seperti tren yang awal. Kemiskinan turun banyak, tetapi masih tinggi,” ujar Deni.
“Beberapa tahun belakangan, gara-gara ada hilirisasi, ini sebenarnya yang paling dapat menikmati adalah mereka yang menengah ke atas.”
Di sisi lain, Deni mengakui kebijakan larangan ekspor bijih nikel untuk program hilirisasi telah meningkatkan ekspor produk turunan, terutama baja. Namun demikian, dampaknya pada sektor lain masih sangat terbatas.
"Tapi lagi-lagi yang meningkat metal-nya bukan seluruh critical mineral atau metal, hanya nikel. Jadi walaupun export ban itu diberlakukan ke yang lain, ke bauksit, ke tembaga; yang sekarang nilainya meningkat itu baru nikel," ucap Deni.
Deni menyebut Realisasi peningkatan investasi industri nikel didorong oleh investasi asing langsung, terutama dari China.
”Sejak ada hilirisasi, neraca perdagangan kita memang membaik. Namun, ingat, itu tak hanya faktor hilirisasi, tetapi ada commodities boom, terutama pada 2020 hingga 2022. Pada 2023, kembali turun,” ujar dia.
Setelah adanya implementasi pembatasan ekspor produk mineral, khususnya nikel, hasil kotor (gross output) dan nilai tambah dari manufaktur logam dasar skala besar-menengah juga meningkat, bahkan mencapai 10%. Namun, keseimbangan eksternalnya menurun karena uang tersebut pada akhirnya kembali ke China.
Permasalahan lainnya yakni perkembangan teknologi baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di dunia, yang tak hanya pada baterai nickel manganese cobalt (NMC), tetapi juga lithium ferro phosphate (LFP). Kendati Indonesia memiliki sumber daya nikel yang melimpah, perkembangan pasar ke depan perlu diantisipasi karena kemungkinan peta permintaan global berubah.
”Rekomendasi kami, kita harus melakukan diversifikasi investasi. Tidak hanya tergantung dari China. Sebab, jika kita sudah tergantung pada China, tetapi ternyata pasarnya tidak di sana. Tren teknologi yang berubah juga perlu dipikirkan. Tidak hanya pada satu [jenis] baterai, tetapi LFP juga,” jelas Deni.
Berdasarkan data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hingga Juli 2024, kapasitas produksi nickel pig iron (NPI) dan feronikel sebesar 14,1 juta ton; nickel matte 304.000 ton; stainless steel slab 11,2 juta ton; mixed hydroxide precipitate (MHP) 1.594 ton, dan nikel sulfat 247.000 ton.
Adapun NPI, feronikel, dan slab baja nirkarat menjadi kontributor utama ekspor turunan nikel Indonesia ke pasar global.
Direktur Hilirisasi Mineral dan Batubara BKPM Hasyim Daeng Barang mengatakan, meskipun mayoritas investasi nikel berasal dari China, pemerintah tetap menjajakan investasi dengan terhadap sejumlah negara lain.
Pemerintah akan mengidentifikasi negara-negara yang memiliki teknologi serta pemain besar dari produk hilirisasi yang dihasilkan. Ini menjadi bagian dari peta jalan hilirisasi investasi strategis di Indonesia.
Dampak Lingkungan
Di sisi lain, Deni menjabarkan persoalan kerusakan lingkungan—seperti pencemaran udara dan laut yang keruh — juga masih menjadi masalah di sekitar lokasi sejumlah smelter nikel, di Morowali, Sulawesi Tengah, dan Halmahera Tengah, Maluku Utara.
”Sejak ada hilirisasi, karena captive coal power plant [pembangkit listrik berbasis batu bara untuk kebutuhan sendiri] di kawasan industri nikel dibolehkan, pencemaran meningkat pesat. Ini masih menjadi masalah,” imbuhnya.
Berdasarkan data CSIS, total emisi dari aktivitas produksi nikel dan deforestasi meningkat dari 14,5 juta ton CO2 ekuivalen pada 2018 menjadi 32,2 juta ton CO2 ekuivalen pada 2021.
Lantaran dampak pada lingkungan yang besar, Deni mendorong agar penerapan prinsip ESG atau lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam hilirisasi pertambangan perlu ditingkatkan.
“Nah ini kita juga melihat ada bauran 2025, ada target. Kalau kita memenuhi energy mix source-nya itu kita bisa harapkan bahwa emisinya bisa dikendalikan atau diperkecil,” tutur dia.
(mfd/wdh)