Di sisi lain, pengalihan subsidi BBM menjadi BLT—jika dilakukan secara bertahap dan tidak drastis — sebenarnya dinilai bisa efektif karena daya beli dan pendapatan masyarakat yang turun. Yayan berujar insentif dari pemerintah cukup menolong masyarakat, tetapi hanya untuk golongan menengah bawah dan bawah.
“Itu pasti akan memiliki impact yang besar ya. Jadi kalau misalkan itu [subsidi BBM] dicabut sepenuhnya, agak mengkhawatirkan juga,” ujarnya.
Menurut Yayan, skema blended yang direncanakan pemerintah—sebagaimana disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia — tak lain ditujukan agar BBM bersubsidi tepat sasaran.
Permasalahannya, data penerima BLT menjadi persoalan acapkali tidak akurat dan sesuai target. Jika permasalahan data tersebut tidak diatasi, masyarakat golongan menengah ke bawah yang tidak mendapatkan BLT akan tertekan.
“Tapi yang sisanya yang tidak [dapat BLT] memang relatif sulit untuk dipilih ya ini dan juga mereka agak keteteran kalau misalkan nanti terjadi multi round effect yaitu inflasi. Nah itu juga mungkin bisa diredam.”
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya mengumumkan pengalihan subsidi BBM menjadi BLT akan dilakukan secara kombinasi atau blended.
Artinya, subsidi BBM tidak akan sepenuhnya dicabut; tetapi ada sebagian yang dialihkan ke dalam format bantuan uang atau BLT kepada masyarakat, sedangkan sisanya tetap menggunakan skema subsidi berbasis kuota terhadap komoditas/barang.
Menurut Bahlil, khusus penerima BLT nanti akan diambil dari data masyarakat kurang mampu milik Kementerian Sosial, Pertamina, Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, hingga Kemenko Pembangunan Manusia. Selanjutnya, data-data tersebut akan dikonsolidasikan oleh BPS.
Bahlil mengaku sudah menemui Presiden Prabowo Subianto untuk membahas keputusan final mengenai perubahan skema subsidi BBM mulai tahun depan, berikut tata cara penyaluran dan kriteria penerimanya agar lebih tepat sasaran.
Dia pun menggarisbawahi bahwa perubahan skema tersebut tidak berarti pemerintah akan mencabut subsidi BBM.
“Semuanya ada subsidi, cuma selama ini kan kita tahu, bahwa subsidi ini ditengarai sebagian tidak tepat sasaran,” kata Bahlil, Rabu (27/11/2024).
“[Kalangan] yang berhak mendapat subsidi inilah saudara-saudara kita yang memang, mohon maaf, ekonominya menengah ke bawah. Sekarang, setelah kita exercise oleh BPS [Badan Pusat Statistik], sekarang sudah satu data. Kita pastikan ada satu data, artinya yang berhak menerima [subsidi BBM] itu pas,” tegas Bahlil.
Bahlil menjelaskan alasan perubahan skema penyaluran subsidi BBM, yang sebagian dialihkan menjadi BLT, juga ditujukan untuk menggairahkan daya beli masyarakat dan memastikan kuota Solar dan Pertalite betul-betul tepat sasaran.
Sekadar catatan, pemerintah menetapkan anggaran subsidi energi sebesar Rp203,4 triliun dalam APBN 2025, turun dari rencana awal senilai Rp204,5 triliun. Dari pagu tersebut, alokasi untuk subsidi BBM dipatok sebanyak Rp26,7 triliun, sedangkan LPG 3kg Rp87 triliun. Sementara itu, subsidi listrik dijatah Rp89,7 triliun.
Dari sisi volume, kuota BBM bersubsidi tahun depan ditetapkan sebanyak 19,41 juta kiloliter (kl), turun dari pagu tahun ini sebanayk 19,58 juta kl. Perinciannya, JBT Solar sebanyak 18,89 juta kl dan minyak tanah 0,52 juta kl.
Kuota Solar hanya turun tipis dari pagu APBN 2024 sebanyak 19 juta kl, sedangkan volume minyak tanah dipangkas dari 0,58 juta kl. Adapun, total pagu BBM bersubsidi dalam APBN 2024 adalah sebanyak 19,58 juta kl dengan outlook realisasi sebanyak 18,19 juta kl.
Untuk Pertalite—yang menggunakan skema kompensasi — Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas sebelumnya mengusulkan agar kuota 2025 diberikan sebanyak 31,33 juta—33,23 juta kl. Prognosis volume Pertalite berada di 31,51 juta kl pada 2024. Angka ini di bawah kuota yang ditetapkan sebanyak 31,7 juta kl dalam APBN 2024.
(wdh)