RUU ini menimbulkan ancaman politis bagi Biden karena terkait dengan kekhawatiran AS bergantung pada China di sumber daya mineral yang penting untuk kendaraan listrik, panel matahari dan alat penting lain untuk transisi ke energi bersih.
DPR AS yang dikuasai oleh Partai Republik diperkirakan akan melakukan veto pada langkah veto Biden ini, meski gagal mencapai suara mayoritas, duapertiga suara, ketika meloloskan RUU ini minggu lalu agar bisa menafikan penolakan Biden.
Inti masalah ini adalah penyelidikan Departemen Perdagangan AS yang menemukan bahwa perusahaan-perusahaan panel tenaga matahari asal China mengelak aturan antidumping dan bea masuk dengan merakit peralatan itu di Asia Tenggara sebelum mengirimnya ke AS.
Penemuan awal ini membuat panel solar dari Kamboja, Thailand, Malaysia dan Vietnam terkena bea pengelakan yang berlaku mundur hingga periode awal penyelidikan jika tidak ada kebijakan moratorium dua tahun yang diterapkan Biden. Tafirnya bisa mencapai hingga 254 persen meski sebagian impor yang terkena hanya akan dipungut bea maksimal dua digit.
Sejumlah kubu pendukung China dan industri energi terbarukan melakukan lobi keras terkait langkah untuk mencabut moratorum Biden ini. Mereka mengatakan bea retroaktif, diperkirakan lebih dari USS1 miliar, akan mengancam instalasi pembangkit listrik tenaga matahari di dalam negeri.
Insentif pajak dalam Peraturan Penurunan Inflasi yang terbit tahun lalu memang mendorong investasi di sektor manufaktur solar namun produksi dalam negeri itu memakan waktu bulanan hingga tahunan untuk bisa beroperasi. Akibatnya, AS masih membeli sebagian besar alat pembangkit listrik solar dari pemasok luar negeri dan empat negara Asia Tenggara ini merupakan pemasok terbesar.
(bbn)