"Kan sudah diberi penjelasan PPN adalah undang-undang, ya kita akan laksanakan, tetapi selektif hanya untuk barang mewah, untuk rakyat yang lain kita tetap lindungi," ujar Prabowo di Istana Kepresidenan, Jumat (6/12/2024).
"Sudah sejak akhir 2023, pemerintah tidak memungut yang seharusnya dipungut untuk membela, membantu rakyat kecil ya. Jadi kalau pun naik itu hanya untuk barang mewah."
Adapun, Dasco mengatakan terdapat tiga skema usulan yang disampaikan DPR untuk penerapan PPN multitarif.
Pertama, kata Dasco, penerapan tarif PPN 12% untuk barang mewah. Menurutnya, komoditas yang dikenakan tarif PPN 12% ini adalah yang selama ini masuk dalam kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Namun, Dasco membuka peluang bahwa komoditas yang dianggap barang mewah akan diperluas.
"Jadi tadi diskusinya [untuk PPN 12%] yang pertama itu yang selama ini kena PPnBM, lalu yang kedua sedang dicek mana yang bisa diperluas, mana yang kemudian [komoditas] tetap 11%," ujarnya.
Kedua, penerapan tarif PPN 11%. Dasco mengatakan komoditas yang dikenai tarif ini merupakan barang yang bukan barang mewah dan tidak masuk dalam pengecualian pengenaan tarif PPN.
Ketiga, komponen yang dikecualikan dari PPN. Menurut Dasco, komoditas yang dikecualikan adalah bahan makanan, usaha mikro, kecil dan menengah, pendidikan dan kesehatan, jasa keuangan dan asuransi, air bersih, serta listrik di bawah 6.600 VA.
"Kami sudah koordinasikan antara DPR, Presiden [Prabowo Subianto], dan pemerintah. Mudah-mudahan apa yang sudah kita diskusikan tadi, mana PPN yang dikenakan barang mewah, mana yang masih tetap 11%, dan mana yang dikecualikan, yang tidak dipungut sama sekali, itu yang kemudian akan dirilis oleh pemerintah," ujarnya.
"Kita tunggu minggu depan, minggu depan akan diputus Pak Presiden [Prabowo]. PPN kan saya tidak ikut, dengan DPR saya tidak ikut," ujar Airlangga saat ditemui di kantornya, Kamis (5/12/2024).
Kalangan pengamat pajak menilai perubahan UU HPP harus dilakukan bila pada akhirnya Indonesia memutuskan untuk mengubah skema tarif PPN dari saat ini satu tarif menjadi multitarif.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menggarisbawahi Indonesia merupakan negara hukum, di mana pernyataan apa pun tidak dapat dijadikan sebagai acuan hukum dan harus berdasarkan norma hukum sesuai asas legalitas.
Sehingga, Pasal 7 Ayat 1 Huruf B UU HPP harus diubah. Sebab, pasal tersebut mengatur bahwa tarif PPN di Indonesia merupakan satu tarif yakni 12% mulai 1 Januari 2025.
"Tidak ada pembedaan tarif PPN untuk barang mewah yang terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah [PPnBM] atau non-barang mewah," ujar Prianto kepada Bloomberg Technoz, Kamis (5/12/2024).
Untuk mengubah tarif tunggal menjadi multitarif, kata Prianto, cara yang paling cepat untuk melakukan revisi Pasal 7 UU HPP adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) karena alasan kegentingan memaksa. Namun, cara demikian akan rentan diuji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Prianto mengatakan cara normal untuk merevisi ketentuan tarif pada UU HPP, sesuai pernyataan DPR, adalah dengan kembali mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) Pajak.
"[Namun] cara ini akan membutuhkan waktu lebih lama dari penerbitan Perppu. Acuannya adalah UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," ujarnya.
Padahal, sesuai Pasal 7 UU HPP, pemerintah juga dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk dibahas bersama dengan RUU APBN Perubahan 2025. Cara demikian diatur pada Pasal 7 Ayat 3 dan 4 UU HPP.
(dov/ros)