Bloomberg Technoz, Jakarta - Badan Pengawas dan Obat Makanan (BPOM RI) akan mengusulkan ketamin sebagai penggolongan psikotropika ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI), buntut marak penyimpangan peredaran golongan obat keras di RI.
"BPOM akan mengusulkan, ini masuk dalam domain psikotropika. Kami akan tidak lanjuti,kita akan masukkan ke ketamin. Selama ini dia masuk sebagai obat keras saja, obat keras yang digunakan untuk obat bius,tapi kan ini kita lihat trennya penyalahgunaannya besar," ujarnya dalam konferensi pers di YouTube BPOM RI, Jumat (6/12/2024).
BPOM RI kemudian menekankan revisi atau perbaikan baru regulasi ketamin dari semula obat keras menjadi Obat-Obat Tertentu (OOT).
OOT adalah obat-obat yang bekerja di sistem susunan saraf pusat yang pada penggunaan di atas dosis terapi dapat menyebabkan ketergantungan dan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Selain itu, penyimpangan peredaran ketamin injeksi sepanjang tahun 2024 ini terjadi di 7 provinsi, yaitu Lampung, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat.
Penyimpangan peredaran tertinggi terjadi di Provinsi Lampung dengan jumlah 5.840 vial ketamin. Sedangkan di 3 provinsi lain yang juga tinggi adalah Bali (4.074 vial), Jawa Timur (3.338 vial), dan Jawa Barat (1.865 vial).
Berdasarkan data hasil pengawasan BPOM pada 2022—2024, BPOM telah memetakan profil peredaran ketamin injeksi. Dari data tersebut Bali merupakan wilayah peredaran dengan kategori sangat tinggi (di atas 100 ribu vial).
Jawa Timur dan Jawa Barat masuk dalam kategori tinggi peredaran ketamin injeksi (50 ribu—100 ribu vial). Provinsi lain di Indonesia masuk dalam kategori sedang dan rendah yaitu di bawah 50 ribu vial.
BPOM pun mengimbau masyarakat untuk tidak menyalahgunakan ketamin karena dapat menyebabkan dampak buruk yang serius bagi kesehatan hingga berujung kematian.
Penyalahgunaan ketamin dapat berdampak buruk pada psikologis, fisik, sistem syaraf, dan gangguan kesehatan mental dalam jangka panjang.
Dampak buruk psikologis dapat berupa halusinasi, gangguan kognitif, dan memori, serta kecemasan hingga depresi. Dampak buruk fisik antara lain kerusakan pada sistem saluran kemih, masalah pernapasan, kerusakan ginjal dan hati. Dampak buruk pada sistem syaraf antara lain disfungsi kognitif, risiko kejang, dan kecanduan psikologis.
Sedangkan dampak buruk bagi kesehatan mental dalam jangka panjang antara lain psikosis, skizofrenia, dan risiko bunuh diri.
(dec/spt)