Logo Bloomberg Technoz

Celios menilai, program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) turut menjadi kompetitor utama dari ambisi transisi energi. Studi Celios menyebutkan bahwa skema MBG yang dilakukan 100% pada 2029 membuat total belanja negara menembus Rp4.962 triliun. Sedangkan defisit anggaran pada 2029 dapat melebar ke 3,34% atau melanggar batas maksimum defisit APBN.

“Melihat peliknya ruang fiskal, maka pemerintah harus kreatif menggunakan instrumen yang out of the box untuk tetap menjalan komitmen keluar dari jebakan PLTU batu bara. Debt swap bisa jadi program pendanaan kreatif dan perlu dicoba,” sebut Celios.

Debt swap sendiri merupakan salah satu cara negara maju dalam membayar utang iklimnya kepada negara berkembang seperti Indonesia.

Hambatan bagi PLN

Selain hambatan fiskal, Celio menyebut, hambatan muncul dari sisi pendanaan untuk pemensiunan PLTU batu bara oleh kondisi keuangan PLN. Total beban utang PLN tercatat sebesar Rp396 triliun. Meskipun selama 4 tahun berhasil menurunkan beban utang sebesar Rp50 triliun dan mencatat laba selama tiga tahun berturut-turut, kapasitas PLN untuk mendanai pemensiunan PLTU cukup berat.

PLN sendiri juga masih bergantung pada subsidi dan dana kompensasi APBN, sehingga skema business-to-business untuk pemensiunan PLTU dianggap kurang menarik bagi investor.

“PLN tentu dengan over-leverage dari sisi neraca keuangan, membuat penarikan pinjaman baru dengan bunga rendah untuk pensiun dini PLTU hampir sulit dilakukan,” tulis Celios.

Celios mengungkapkan, keterbatasan fiskal APBN maupun kondisi keuangan PLN membuka jalan baru bagi model kerjasama dalam bentuk debt swap. Secara rasional negara maju juga akan diuntungkan karena bentuk pendanaan debt swap akan dimasukkan sebagai klaim komitmen pendanaan iklim. Di sisi lain pemerintah juga bisa menggunakan kewajiban pembayaran utang untuk program yang lebih bermanfaat.

PLN Tak  Sanggup

Peningkatan jumlah PLTU di Indonesia dari tahun ke tahun./dok. Global Energy Monitor

Masalah pendanaan negara maju untuk pensiun PLTU batu bara sebelumnya turut disoroti PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.

Direktur PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN Darmawan Prasodjo menyebut negara, khususnya PLN, tidak memiliki biaya untuk memadamkan seluruh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara dalam 15 tahun seperti yang diinginkan Presiden Prabowo.

“Suntik mati PLTU pada dasarnya kami membangun suatu kriteria. Kalau ada usulan dari manapun bahwa ini harus cost neutral. Jadi kalau ada penambahan biaya, yang menanggung bukan Pemerintah Indonesia, bukan PLN, karena penurunan efek gas rumah kaca [GRK] ini dampaknya bagi global community, bukan bagi Indonesia saja,” kata Darmawan dalam rapat bersama Komisi VI DPR, Selasa (3/12/2024).

Mengutip data yang dipaparkan dalam pergelaran COP 29 di Baku, Azerbaijan bulan lalu; Darmawan mengatakan Indonesia mengeluarkan 3 ton emisi GRK per kapita per tahun.

Untuk itu, PLN sangat berhati-hati dalam menghentikan penggunaan batu bar dalam bauran ketenagalistrikan nasional. Terlebih, ketika suatu PLTU harus disuntik mati, perseroan harus membangun pembangkit baru berbasis energi baru terbarukan (EBT).

“Ada penambahan investasi, kemudian belum lagi investasi yang dahulu. Jadi bagi kami [PLN], ya kalau kami bisa ada [bantuan] dana internasional gratis yang cost neutral, kami tidak menambah biaya apapun,” tutur Darmawan.

Menurut perhitungannya, menyuntik satu PLTU akan dikenakan tambahan biaya sekitar Rp 30 triliun sampai Rp50 triliun. Dia juga menegaskan ketika PLN beralih ke EBT, sistemnya harus terjaga keandalannya. Pada saat bersamaan, konsep EBT yang dicanangkan juga harus futuristik.

“Tentu saja kami berkomunikasi secara lugas kepada global investor, global communities. Monggo saja kalau memang ada yang mau memberikan [pendanaan] dalam jumlah yang besar, kemudian pembangkit kami diganti dengan yang lebih fresh, yang futuristik, dan menguntungkan bagi pemerintah, PLN, dan rakyat; why not?" tutur Darmawan.

Di sisi lain, Darmawan menegaskan, pengalihan PLTU menjadi EBT tidak semudah yang diperkirakan. Dia pun memberikan sinyal positif bagi komunitas global untuk ikut serta dalam mendukung Indonesia menuju keberlanjutan.

“Kebetulan kami beruntung dari pemerintah, dari Presiden sendiri sudah mencanangkan itu [suntik mati PLTU]. Akan tetapi, sampai saat ini proses coal phased out tidak dalam jumlah itu. Kami analisis satu demi satu dan kami juga spesifik seperti apa bantuan dari dunia internasional, tetapi yang jelas kita mendukung itu,” jelas Darmawan. 

(mfd/roy)

No more pages