Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai skenario tukar utang atau debt swap dapat menjadi opsi yang bisa ditempuh pemerintah untuk memensiunkan setidaknya 19 PLTU berbasis batu bara. Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara menerangkan debt swap merupakan salah satu cara negara maju dalam membayar utang iklimnya kepada negara berkembang seperti Indonesia.
“Indonesia punya Rp 94,8 triliun utang berbentuk pinjaman yang akan jatuh tempo 2025, dan utang ini kepada negara maju dan lembaga multilateral,” kata Bhima.
Bhima menilai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia bisa membuka ruang negosiasi dengan pemberi pinjaman untuk menukarkan utang RI menjadi dana pensiun PLTU batu bara.
“Negara maju juga diuntungkan karena konsisten jalankan skema NCQG (New Collective Quantified Goals) membayar utang iklimnya,” sebut Bhima.
Celios mengestimasikan kebutuhan dana pensiun PLTU batu bara hingga 2050 mencapai sekitar Rp 444 triliun. Bhima pun tidak memungkiri pemerintah dihadapkan pada keterbatasan anggaran untuk mengumpulkan dana tersebut.
“Kewajiban pembayaran bunga dan utang jatuh tempo tahun depan saja diperkirakan mencapai 45% dari total APBN, sehingga manuver untuk program transisi energi kian terbatas,” lanjutnya.
Analisis Teknikal
Secara teknikal dengan perspektif harian (daily time frame), batu bara masih tersangkut di zona bearish. Tercermin dari Relative Strength Index (RSI) yang sebesar 38,72. RSI di bawah 50 mengindikasikan suatu aset sedang dalam posisi bearish.
Akan tetapi, indikator Stochastic RSI sudah menyentuh angka 0. Paling rendah, sudah amat jenuh jual (oversold).
Dengan demikian, sebenarnya harga batu bara berpotensi naik. Target resisten terdekat adalah Moving Average (MA) 5 di US$ 140/ton. Jika tertembus, maka MA-10 di US$ 143/ton bisa menjadi target selanjutnya.
Adapun target support terdekat adalah US$ 129/ton. Penembusan di titik ini berisiko menyeret harga batu bara turun ke arah US$ 127/ton.
(aji)