Saat kapasitas output katoda tembaga Freeport akhirnya dinaikkan untuk bisa mencapai 600.000 ton per tahun, lanjut Tony, industri di dalam negeri belum siap untuk menyerap produksi tersebut.
“Karena yang sudah ada sekarang saja belum diserap, apalagi yang baru. Jadi memang PR kita bersama agar hilirisasi dari tambang, dari perusahaan tambang ini kan sampai 99,9%, kemudian dari situ bisa diserap ke manufaktur,” ujarnya.
Pabrik Foil
Lebih lanjut, Tony menjelaskan saat ini di kawasan industri JIIPE—lokasi smelter katoda tembaga Freeport berada — sebenarnya sudah ada satu pabrik foil tembaga yang mampu menyerap 100.000 ton katoda yang dihasilkan smelter Manyar.
Pabrik foil tembaga PT Hailiang di Manyar itu diklaim menjadi terbesar di Asia Tenggara. Pabrik tersebut digunakan sebagai pengumpul arus listrik di kutub negatif (anoda) baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Pabrik ini memproduksi foil tembaga electrodeposit untuk kendaraan listrik bertenaga baterai litium.
Permasalahannya, daya serap pabrik tersebut hanya mencakup seperenam dari total produksi katoda yang dihasilkan dari smelter Freeport.
“Jadi kalau kami akan produksi 600.000 ton [katoda], ya kami perlu kira-kira 6 perusahaan seperti itulah yang bisa mengonsumsi produk katoda tembaga kami, supaya betul-betul yang dikatakan ekosistem dari hilirisasi itu hidup. Terutama perusahaan yang berkaitan dengan ekosistem kendaraan listrik,” kata Tony.
MIND ID Beber Offtaker
Sebelumnya, Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) Dilo Seno Widagdo mengatakan saat ini setidaknya sudah ada 2 industri yang sudah pasti akan menyerap katoda tembaga dari smelter Freeport, yang baru saja mengalami insiden kebakaran pada Senin (14/10/2024), tersebut.
“Kita sudah dapat dua ya. Terakhir baru tanda-tangan MoU melalui IBC [Indonesia Battery Corporation] untuk bekerja sama [mendirikan pabrik] copper foil yang menyerap katoda tembaga [dari smelter Freeport di Manyar],” ujar Dilo saat ditemui di Jakarta Pusat, medio Oktober.
Adapun, pabrik foil tembaga tersebut membutuhkan kepastian suplai katoda karena diproyeksikan memiliki kapasitas produksi sebesar 200.000—300.000 ton per tahun, dengan nilai investasi sekitar US$1,5 miliar—US$2 miliar.
Selain itu, Dilo mengatakan industri yang bakal menyerap katoda tembaga dari smelter Freeport kemungkinan akan datang dari PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA). Namun, dia tidak mengelaborasi proyek hilir apa yang disiapkan oleh MDKA untuk menyerap produksi katoda smelter Manyar.
Lebih lanjut, pabrikan kabel di dalam negeri—yang notabene juga membutuhkan katoda tembaga — juga mulai memberikan masukan kepada pemerintah agar pasar domestik diproteksi dari serbuan bahan baku katoda impor.
“Pabrik-pabrik kabel semua memberikan advokasi ke pemerintah [untuk] proteksi pasar dalam negeri. Teman-teman kalau beli AC, sudah sama pipa tembaga, artinya diimpor dengan tidak bayar bea masuk. Seharusnya ini bisa dilakukan oleh industriawan dalam negeri. Kita melihat di sisi hilir ini [potensinya] akan sangat besar,” kata Dilo.
Selain dari dalam negeri, Dilo mengatakan permintaan katoda tembaga dari luar negeri juga sangat tinggi. Terlebih, menurut catatan London Metal Exchange (LME), terdapat kesenjangan atara suplai dan permintaan katoda akibat defisit pasokan tembaga di tingkat global.
“Bahkan harga tembaga sampai menyentuh US$9.500/ton, mungkin bisa menembus US$10.000/ton [akibat defisit pasokan]. Jadi memang demand-nya lagi besar, tetapi suplainya terbatas,” terang Dilo.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)