Logo Bloomberg Technoz

UMP Naik Kala Pungutan Baru Bermunculan: Daya Beli Sulit Bangkit

Ruisa Khoiriyah
05 December 2024 14:52

Aktivitas pekerja di pabrik Frisian Flag Indonesia (FFI) di Cikarang, Jawa Barat, Selasa (2/7/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)
Aktivitas pekerja di pabrik Frisian Flag Indonesia (FFI) di Cikarang, Jawa Barat, Selasa (2/7/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Pemerintah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 naik 6,5%, tingkat kenaikan terendah sejak 2012, di luar periode resesi ekonomi akibat Pandemi Covid-19. Keputusan menaikkan UMP sebesar 6,5% itu juga masih di bawah harapan para buruh yang mengajukan kenaikan UMP sebesar 10% dibanding tahun ini.

Kenaikan UMP sebesar 6,5% itu keluar di tengah suara protes yang masih keras dari berbagai kalangan masyarakat menolak berbagai rencana kebijakan yang potensial menekan daya beli lebih dalam. Mulai dari kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12%, pewajiban asuransi kendaraan, dan lain sebagainya. 

UMP yang naik di angka terkecil dalam lebih dari satu dekade itu, dikhawatirkan tidak cukup memadai dalam mengimbangi potensi lonjakan pengeluaran yang harus ditanggung para pekerja akibat kemunculan pungutan baru yang memberatkan. Di sisi lain, muncul pula 'ancaman' dari kalangan pengusaha yang menilai kenaikan UMP di level itu juga bisa memperpanjang tren pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sudah besar saat ini.

Lantas, seberapa besar dampak kenaikan UMP tahun depan sebanyak 6,5% tersebut dalam membantu perbaikan daya beli masyarakat?

Berkaca pada data historis 10 tahun ke belakang, kenaikan UMP hingga double digit seperti yang terjadi pada 2012-2016, berhasil mengantarkan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga di atas 5%. Kecuali pada 2015 yang hanya tumbuh 4,96%. Sementara sejak 2017, pertumbuhan UMP hampir selalu di bawah 9%. Terakhir kali terjadi kenaikan double digit yaitu pada UMP 2023 dengan kenaikan 10%. Tahun lalu, UMP 2024 ditetapkan naik cuma 3,5%.