Logo Bloomberg Technoz

Sejumlah saham-saham teknologi yang menjadi pendorong pelemahan IHSG ialah saham PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk (DIVA) ambles 4,09%, saham PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) melemah 2,78%, dan saham PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) terpeleset 1,63%.

Senada dengan IHSG, saham LQ45 yang berisikan saham-saham unggulan ikut melemah, dan menetap di zona merah, dengan tertekan 1,2% dan 10,61 poin ke posisi 872,97.

Saham-saham unggulan LQ45 yang bergerak pada teritori negatif antara lain, PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) terdepresiasi 3,87%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) drop 2,75%. Menyusul saham PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) melemah 2,65%, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) terjungkal 2,64%.

Adapun kinerja Bursa di Asia siang hari ini bergerak bervariasi. Indeks Strait Times Singapore melesat 0,66%, indeks Nikkei 225 menguat 0,36%, indeks Shanghai tertekan menguat 0,17%, TOPIX Jepang menghijau 0,05%, indeks Hang Seng Hong Kong melemah jatuh 1,08%, dan indeks Kospi drop 0,68%.

Sentimen pada perdagangan siang hari ini utamanya datang dari dalam negeri. Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Hal ini tercantum dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.

Beleid ini melalui proses pembahasan antara Pemerintah yang ketika itu diwakili Menteri Keuangan saat itu, yakni Sri Mulyani bersama Komisi XI DPR RI, hingga disepakati menjadi UU dalam Sidang Paripurna.

Kebijakan ini sejatinya menuai perhatian sekaligus reaksi negatif dari masyarakat, pelaku ekonomi, dan ahli ekonomi. Sebagian besar menilai bahwa kenaikan PPN akan semakin menggerus daya beli dan melemahkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Ekonom Senior/Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Ryan Kiryanto memproyeksikan permintaan kredit perbankan bakal turun seiring dengan rencana Pemerintah untuk tetap melaksanakan kenaikan PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.

“Mereka mau mengurangi konsumsi, maka permintaan kredit, terutama kredit konsumtif, kredit konsumtif itu misalnya kredit otomotif, kredit kendaraan bermotor, bahkan mungkin KPR, itu jadi berkurang permintaannya,” mengutip tulisan Ryan kepada Bloomberg Technoz, Kamis.

Maka, pengurangan konsumsi itu bakal berdampak pada permintaan kredit untuk konsumsi, di mana permintaan berpotensi melemah dan turun di bawah ekspektasi.

Seperti diketahui, kebijakan ini menuai banyak protes karena akan membebani masyarakat di tengah ekonomi yang lesu.

Inflasi RI Terendah Sejak 2021 (Bloomberg)

Pelaku usaha juga diramal bakal menurunkan permintaan kreditnya ke bank. Hal ini terjadi seiring dengan daya beli yang melemah, sehingga mereka bakal mengurangi level produksi yang berdampak pada permintaan kredit ke bank. 

Terlebih lagi, Pemerintah juga telah memutuskan untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% untuk tahun 2025. Kenaikan ini sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.

“Nilai kenaikan Upah Minimum Provinsi tahun 2025 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar 6,5% dari Upah Minimum provinsi tahun 2024. Nomor 16 Tahun 2024 Tentang Penetapan Upah Minimum 2025,” tulis Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 16/2024 Tentang Penetapan Upah Minimum 2025.

Ekonom turut mengkritik kenaikan UMP sebesar 6,5% pada 2025 tersebut, lantaran masih terlalu rendah untuk mendorong konsumsi rumah tangga, sebagai komponen utama pertumbuhan ekonomi.

Hal ini disampaikan Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menanggapi UMP tahun 2025 yang akan naik 6,5% tahun depan. 

Dia juga mengatakan, dengan naiknya berbagai beban masyarakat seperti PPN 12%, iuran BPJS Kesehatan naik, Tapera, dan Asuransi Wajib Kendaraan, jelas 6,5% UMP terlalu rendah.

“Kenaikan upah minimum hanya 6,5% belum mampu mengkompensasi naiknya berbagai harga kebutuhan pekerja,” ucap Bhima.

(fad/ain)

No more pages