Kebijakan minyak goreng satu harga diluncurkan oleh Kementerian Perdagangan pada 19—31 Januari 20022, sebagai upaya mengatasi lonjakan harga kebutuhan pokok berbahan baku minyak kelapa sawit tersebut.
Dasar hukum dari kebijakan tersebut adalah Peraturan Menteri Perdagangan No. 3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Kemendag lantas menetapkan kebijakan tersebut di gerai-gerai ritel modern untuk seluruh jenis minyak goreng.
"Seharusnya pembayaran diselesaikan paling lambat enam bulan setelah tanggal itu [berakhirnya kebijakan]. Namun, karena [tenggat] sudah habis, dikatakan [pemerintah beralasan] tidak ada landasan regulasi untuk membayarnya. Kami kaget sekaget-kagetnya dan bingung sebingung-bingungnya," kata Roy dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi VI DPR RI, Selasa (14/2/2023).
Kabar mengenai tidak adanya landasan hukum itu diketahui setelah Aprindo melakukan audiensi dengan Kementerian Perdagangan. Asosiasi juga sudah berbicara dengan BPDPKS.
Dana yang digunakan untuk membayar selisih harga keekonomian dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah berasal dari pungutan ekspor yang ditarik oleh BPDPKS.
Di sisi lain, BPDPKS mengeklaim sebenarnya sudah menyiapkan dana untuk membayar selisih tersebut. Namun, mereka masih menunggu verifikasi lembaga survei dan rekomendasi Kemendag untuk melakukan pencairan dana.
"Katanya pemerintah sudah menunjuk Sucofindo [PT Superintending Company of Indonesia] untuk verifikasi. Lalu, pada November [2022] kami dapat kabar dari Plt Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag sudah tidak di Sucofindo tapi di BPKP [Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan]," ungkapnya.
Tentu saja, Aprindo bingung dengan kabar itu lantaran fungsi dan tugas BPKP tidak terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kebingungan mereka makin menjadi pada Januari 2023 karena tanggung jawab dilimpahkan dari BPKP ke Kejaksaan Agung.
"Januari 2023 sudah tidak di BPKP, tetapi sudah di Jampidum [Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum] Kejaksaan Agung," ujarnya.
Ancaman Boikot
Pada pertengahan April, Aprindo kembali bersuara. Kali ini, asosiasi mengancam akan menyetop penjualan minyak goreng karena pemerintah tak kunjung membayar selisih harga minyak goreng dalam kebijakan satu harga yang dijalankan Januari 2022.
Menurut Roy, Aprindo berulang kali melakukan audiensi dengan pihak-pihak terkait termasuk mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VI DPR. Aprindo juga sudah mengirimkan surat ke Kantor Staf Presiden (KSP) namun tidak membuahkan hasil juga.
“Opsi penyetopan [penjualan] minyak goreng ini akan dilakukan dalam waktu dekat agar semuanya sadar bahwa ada masalah yang tak kunjung selesai hingga lebih dari satu tahun,” kata Roy ketika ditemui di Jakarta Selatan, Kamis (13/4/2023).
Roy belum bisa memastikan kapan rencana tersebut akan dieksekusi. Dia mengatakan pihaknya masih harus berkoordinasi dengan 31 peritel modern yang menjalankan lebih dari 30.000 gerai di seluruh Indonesia agar rencana tersebut berjalan dengan baik.
“Kita masih koordinasi dahulu dengan anggota yang menjual minyak goreng ini. Karena kami ini kan pelaku usaha juga dan ada yang harus dipertimbangkan,” ujarnya.
Selain itu Aprindo juga mempertimbangkan dampak dari rencana tersebut ke masyarakat khususnya menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Idulfitri 1444 H. Hilangnya minyak goreng dari ritel modern akan bisa membuat masyarakat kesulitan membeli komoditas kebutuhan pokok tersebut.
“Kita lakukan penjualan minyak goreng kemasan premium yang HPP (harga pokok pembelian) bisa mencapai Rp 19.000/liter harus dijual dengan harga Rp 14.000/liter. Itu karena kita patuh regulasi dan membantu masyarakat untuk menjangkau minyak goreng,” katanya.
Kemendag Tunggu Kejagung
Dalam waktu dekat, Kementerian Perdagangan (Kemendag) berencana untuk bertemu dengan Aprindo guna membahas soal tunggakan sebesar Rp 344,15 miliar tersebut.
"Mudah-mudahan awal minggu depan ini. Tertutup," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Isy Karim kepada wartawan di Gedung Kemendag, Kamis (27/4/2023).
Rencana pertemuan ini menyusul rencana Aprindo untuk menyetop penjualan minyak goreng di pasar modern lantaran pemerintah belum melunasi selisih harga miyak goreng itu,
"Kami akan mengundang secara formal Aprindo berdiskusi untuk membicarakan [tunggakan tersebut] dan mengimbau agar tidak memboikot penjualan migor," lanjutnya.
Isy tidak menampik pemerintah memang belum membayarkan tunggakan tersebut lantaran proses hukumnya masih sedang berjalan dan sedang ditindaklanjuti oleh Kejaksaang Agung (Kejagung).
Dia mengatakan, ketika Kejagung telah melakukan verifikasi dan pengecekan secara detail soal laporan dari Kemendag, pihaknya akan segera melakukan pelunasan terhadap tunggakan tersebut.
Kemendag juga tengah menunggu hasil laporan surveyor independen untuk memverifikasi apakah benar pelaku usaha ritel modern telah mendistribusikan minyak goreng sesuai dengan kebijakan yang berlaku saat itu.
Akan tetapi, lanjut Isy, proses verifikasi tersebut terkendala lantaran pihak surveyor tidak dapat menyelesaikan laporannya tepat waktu, sehingga Kemendag harus mengadakan tender untuk mencari surveyor baru.
"Untuk menentukan surveyor itu kan harus memenuhi lelang, tidak boleh penunjukkan langsung. Nah pelaksanaan lelang itu mengalami kendala waktu itu. Kemudian ada keputusan pemerintah itu terminnya di cabut, sehingga ada kekhawatiran mengenai aspek hukumnya. Oleh sebab itu, kami perlu pendapat hukum dari Kejaksaan Agung. Memang perlu waktu untuk melakukan verifikasi betul tidak yang didistribusikan oleh para pelaku usaha [ritel modern] itu. Jadi ada proses yang mungkin terlewatkan," sambungnya.
Utak-atik Kebijakan Migor
Untuk diketahui, pada awal tahun lalu, pemerintah menempuh berbagai kebijakan untuk mengendalikan harga minyak goreng yang berimbas multisektor. Pemerintah sejatinya sudah menggelontorkan aneka kebijakan untuk meredam amuk harga minyak goreng sejak akhir 2021.
Mulai dari operasi pasar, subsidi menggunakan dana BPDPKS, hingga kebijakan satu harga minyak goreng.
Setelahnya, pemerintah juga menetapkan larangan terbatas (lartas) ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), produk refined, bleached, and deodorized (RBD) palm olein, dan minyak jelantah mulai 24 Januari 2022.
Tidak berselang lama, kebijakan wajib pemenuhan kebutuhan domestik atau domestic market obligation (DMO) dengan harga khusus atau domestic price obligation (DPO) bagi industri kelapa sawit diberlakukan sejak 27 Januari 2022.
Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah menetapkan 3 harga eceran tertinggi (HET) sekaligus untuk minyak goreng yang berlaku efektif mulai 1 Februari 2022.
Harga minyak goreng curah bakal dibanderol Rp11.500/liter, kemasan sederhana Rp13.500/liter, dan kemasan premium Rp14.000/liter.
Rangkaian kebijakan yang sejatinya hanya menyasar harga minyak goreng itu justru berimbas sistemik, hingga ke luar negeri.
Di level internasional, kebijakan pengendalian harga minyak goreng Indonesia tercatat telah mengerek harga CPO global pada kuartal I tahun lalu.
Dewan Minyak Sawit Malaysia atau Malaysian Palm Oil Council (MPOC) dalam laporan pada 28 Januari 2022 menyebutkan harga kontrak berjangka CPO untuk pengiriman Februari 2022 bahkan menyentuh 5.803 ringgit per ton, tertinggi sepanjang masa, akibat kebijakan yang ditempuh Pemerintah Indonesia.
(rez/wdh)