“Di dalam negeri butuh ketahanan energi, tetapi kalau [penggunaan] batu baranya dikurangi, itu kan kebijakan pemerintah. Namun, industri batu bara ya sepanjang permintaan di luar negeri masih tinggi, kita jual di luar. Buktinya, kalau kita lihat data statistik, permintaan batu bara di luar kan mengingkat terus,” ucap Hendra.
Bisa Diandalkan
Dia pun menggarisbawahi, makin tinggi tekanan global terhadap industri batu bara akibat gelombang transisi energi, sektor ini justru makin produktif lantaran permintaannya kian meningkat dari banyak negara.
“Kenapa kalau permintaan meningkat, kita enggak jual? Kan negara butuh uang, butuh devisa. Kita bisa bebas dari resesi akibat pandemi Covid-19 kan antara lain karena didukung oleh harga dan kinerja ekspor mineral dan batu bara,” tegasnya.
Dengan demikian, dia pun berpendapat batu bara masih sangat bisa diandalkan Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% hingga 2029, meski sektor energi fosil tengah ‘dicaci’ banyak komunitas global di tengah euforia energi baru terbarukan (EBT).
Seandainya pun permintaan batu bara di dalam negeri untuk pembangkit PLN berkurang dalam 15—20 tahun ke depan, lanjut Hendra, pengusaha juga tidak akan dirugikan.
Penyebabnya, harga jual batu bara untuk pasar ekspor masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga domestik yang diatur oleh domestic price obligation (DPO) akibat kebijakan wajib pasok domestik atau domestic market obligation (DMO).
“Harga dalam negeri kan dipatok US$70/ton, kalau di luar US$700/ton. Alhamdullilah kan,” ujarnya.
Transisi Batu Braa
Lebih lanjut, Hendra mengatakan pemerintah semestinya fokus mengembangkan teknologi untuk membuat industri batu bara menjadi lebih berkelanjutan atau rendah emisi, alih-alih menyerah pada tekanan global untuk meninggalkan energi fosil.
“Kurangi emisi batu bara. Sebenarnya batu bara tidak ada masalah. Masalah batu bara apa? Emisi kan? Jadi, jangan dimusuhi batu baranya, tetap emisinya. Kalau emisi sudah ditekan, dikurangi, apakah batu bara ada masalah lagi? Tidak ada lah.”
Di sisi lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia meminta para pengusaha tidak ragu dalam melanjutkan industri batu bara karena harganya masih kompetitif, meskipun kini dunia tengah memasuki era transisi energi.
Faktanya, per Rabu (4/12/2024), harga batu bara di pasar ICE Newcastle ditutup di US$ 134/ton, turun 0,85% secara harian dan menjadi yang terendah sejak 12 Juli atau hampir 5 bulan terakhir. Sepekan terakhir, harga turun 4,96% secara point-to-point. Selama sebulan ke belakang, harga berkurang 6,88%.
Tahun ini juga bukan menjadi tahunnya batu bara. Sepanjang 2024 atau year to date (ytd) harga terpangkas 8,47%.
Bahlil mengungkapkan dunia sedang gencar mengembangkan industri hijau, bahkan sampai memadamkan PLTU. Hal itu dilakukan demi mencapai target emisi nol bersih atau net zero emission pada 2060.
Meski demikian, dia mengakui teknologi untuk mengembangkan EBT sangat mahal, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.
“Saya sering mengatakan begini, kita setuju dengan global, net zero emission, menurunkan emisi gas rumah kaca [GRK]. Akan tetapi, selama teknologinya masih mahal dan ekonomi kita belum kuat, kita harus menyesuaikan diri dengan kondisi kita,” tutur Bahlil dalam agenda Indonesia Mining Summit 2024.
Bahlil meyakinkan para pengusaha batu bara untuk tidak ragu melanjutkan dan mengembangkan industri batu baranya. Dia menegaskan komoditas itu masih sangat penting bagi kedaulatan energi.
"Batu bara, sampai dengan hari ini, kami masih menganggap sebagai salah satu energi yang cukup kompetitif, murah, dan bisa menghasilkan biaya yang kompetitif untuk menghasilkan produk," ungkap Bahlil.
Plh Ketua Dewan Energi Nasional (DEN) itu bahkan menyinggung masih banyak negara Eropa yang memesan batu bara dari Indonesia hingga kini.
"Jadi kami tetap masih menganggap yang pengusaha-pengusaha di batu bara lanjut terus. Tidak ada masalah. Apalagi kalau produksi bagus, PNBP [penerimaan negara bukan pajak] bagus, pertumbuhan ekonomi daerah bagus, tidak ada masalah," ucap Bahlil.
Kendati demikian, dia juga meminta para pengusaha tambang batu bara tak terlena karena Indonesia akan secara bertahap melakukan transisi energi dan hilirisasi.
Kementerian ESDM melaporkan kontribusi sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia sepanjang 2023 mencapai Rp2.198 triliun.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan hasil rekapitulasi tersebut setara dengan 10,5% dari total PDB Indonesia yang bernilai Rp20.892 triliun tahun lalu.
"Nilai ini sangat signifikan dan harus kita pertahankan bahkan ditingkatkan," ujarnya melalui pernyataan resmi kementerian, akhir November.
Tri menerangkan untuk periode 2025—2029, kontribusi sektor pertambangan diharapkan terus naik seiring dengan target pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai rerata pertumbuhan ekonomi nasional 8%.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)