Pada awalnya, proyek tersebut diharapkan menjadi program mercusuar untuk menekan beban subsidi LPG senilai Rp7 triliun per tahun. Dalam perkembangannya, proyek tersebut dicampakkan mitra investornya dari Amerika Serikat (AS), yaitu Air Products & Chemical Inc (APCI).
Kejadian tersebut menjadi preseden yang membuat gasifikasi batu bara menjadi DME terus terkatung-katung hingga saat ini, lantaran belum ada calon investor pengganti yang bersedia menanam modal di proyek tersebut.
Kepastian Harga
Hendra berpendapat jika pemerintah memaksakan investasi gasifikasi batu bara menjadi DME sebagai program mandatori bagi perusahaan batu bara, tidak menutup kemungkinan pula produk substitusi yang dihasilkan justru bakal lebih mahal dari LPG.
Walhasil, hal tersebut malah akan menjadi kontraproduktif dengan tujuan pemerintah mengembangkan DME untuk menekan anggaran impor dan subisidi LPG.
“Kalau dia jual produk DME, nanti kan akan menggantikan LPG, nah itu bagaimana harga DME-nya ditetapkan? Itu kan juga tidak mudah kalau harganya tidak ekonomis. Ngapain orang beli DME? Dia mending beli LPG. Ngapain orang investasi di situ kalau harganya enggak menarik?” kata Hendra.
Untuk berinvestasi di proyek gasifikasi yang mahal tersebut, padahal, pengusaha batu bara juga membutuhkan kepastian hukum dan harga dalam jangka panjang.
Hendra menyebut tidak ada pengusaha batu bara yang mau masuk ke investasi hilirisasi batu bara jika tiap 2—3 tahun terjadi perubahan aturan atau harga, sementara mereka harus berproduksi selama 20 tahun.
“Jadi, hilirisasi batu bara sih masih panjang [prosesnya], karena nilai tambah dari batu bara itu ya di listrik. Kan main listrik, batu bara itu untuk listrik,” tegasnya.
Tak Harus DME
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya memastikan eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), yang mendapatkan perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), wajib melakukan hilirisasi batu bara.
Akan tetapi, produk akhir hilirisasi batu baranya tidak wajib berupa DME, yang selama ini digadang-gadang sebagai pengganti LPG. Walakin, kata Bahlil, pemerintah tetap mengupayakan terdapat proyek hilirisasi batu bara menjadi DME.
"Salah satu program ke depan yang akan kita dorong sebagai bentuk hilirisasi daripada batu bara. Itu diupayakan terus. Wajib hilirisasi, tetapi tidak mesti DME, kami usahakan satu di antara itu," ujar Bahlil saat ditemui di kantornya, di Jakarta Pusat, awal November.
Kementerian ESDM sudah melakukan persetujuan terhadap proyek hilirisasi batu bara dari 5 perusahaan yang masa PKP2B-nya sudah habis.
Sekadar catatan, dalam rangka perpanjangan PKP2B menjadi IUPK, badan usaha harus menyampaikan rencana pengembangan dan/atau pemanfaatan batu bara. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 189 Peraturan Pemerintah No. 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Daftar 5 Proyek Hilirisasi Batu Bara yang Disetujui Pemerintah:
1. PT Kaltim Prima Coal:
- Kegiatan Peningkatan Nilai Tambah: Gasifikasi batu bara kepada metanol (coal to methanol), tetapi berpotensi berubah menjadi amonia
- Kapasitas Produk PNT: 1,8 juta ton/tahun (Methanol)
- Mulai produksi: estimasi 2025
2. PT Arutmin Indonesia
- Kegiatan PNT: Gasifikasi batu bara kepada metanol (coal to methanol), tetapi berpotensi berubah menjadi amonia
- Kapasitas Produk PNT: 2,95juta ton/tahun (Methanol)
- Mulai produksi: estimasi 2026
3. PT Multi Harapan Utama
- Kegiatan PNT: Semi kokas
- Kapasitas Produk PNT: 1 juta ton/tahun (semi kokas)
- Mulai produksi: estimasi 2027
4. PT Adaro Indonesia
- Kegiatan PNT: batu bara ke dymethil ether (DME)
- Kapasitas Produk PNT: 2 juta ton/tahun (Methanol), 1,34 juta ton/tahun (DME)
- Mulai produksi: estimasi 2027
5. PT Kideco Jaya Agung
- Kegiatan PNT: gasifikasi atau underground coal gasification (USG)
- Kapasitas Produksi: 100 ribu ton/tahun (Ammonia), 172 ribu ton/tahun (urea)
- Mulai produksi: estimasi 2029 dan 2031
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)