Dia mengakui proyek gasifikasi batu bara menjadi DME mangkrak lantaran nilai keekonomian proyeknya masih belum terukur. Hal itulah yang menjadi ganjalan pemerintah dalam mencari investor untuk menemani PTBA di proyek tersebut.
“Yang jelas DME, kalau misalnya dibandingkan dengan biaya subsidi [LPG], maka enggak masuk [nilai keekonomiannya],” tutur Tri.
Untuk diketahui, proyek strategis nasional (PSN) gasifikasi batu bara menjadi DME yang memiliki taksiran nilai investasi US$2,1 miliar (sekitar Rp33,46 triliun asumsi kurs saat ini) pada awalnya diharapkan menjadi program mercusuar untuk menekan beban subsidi gas minyak cair atau liquefied petroleum gas (LPG) senilai Rp7 triliun per tahun.
Proyek itu seharusnya dipenggawai oleh PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA) dan Air Products & Chemical Inc (APCI), perusahaan asal Amerika Serikat (AS).
PSN gasifikasi batu bara itu sejatinya direncanakan selama 20 tahun di wilayah Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) yang berada di mulut tambang batu bara Tanjung Enim, Sumatra Selatan. BACBIE akan berada di lokasi yang sama dengan PLTU Mulut Tambang Sumsel 8.
Dengan mendatangkan investasi asing dari APCI senilai US$2,1 miliar, proyek itu awalnya digadang-gadang sanggup memenuhi kebutuhan 500.000 ton urea per tahun, 400.000 ton DME per tahun, dan 450.000 ton polipropilen per tahun.
Sayangnya, pada tahun lalu APCI memutuskan mundur dari proyek tersebut untuk memilih fokus pada proyek pengembangan hidrogen biru dengan iming-iming insentif yang lebih menggiurkan dari negara asalnya.
Terkait dengan hal itu, Penasihat Khusus Presiden urusan Energi, Purnomo Yusgiantoro, mengatakan netback dari DME, sebagai salah satu produk akhir dari hilirisasi batu bara, tidak bisa bersaing dengan LPG yang berasal dari impor dan mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Sekadar catatan, nilai netback adalah probabilitas harga tertinggi yang bersedia dibayar konsumen atau pembeli untuk mendapatkan sumber energi tertentu.
Hal tersebut yang pada akhirnya melandasi hengkangnya APCI pada proyek penghiliran batu bara menjadi DME di Indonesia, yang menyebabkan megaproyek substitusi impor LPG itu terkatung-katung hingga saat ini.
“Ada satu studi, kenapa kok [APCI] pull out di Sumatra Selatan? Dihitung netback. Dihitung kalah [bersaing dengan LPG impor]. Kecuali harga batu bara di itu US$15/ton. Kalau ini US$15 dia compatible dengan harga LPG,” ujar Purnomo dalam agenda Tinjauan Kebijakan Mendukung Transisi Energi dan Target Pertumbuhan Ekonomi Pemerintahan Baru, akhir Oktober.
Purnomo menggarisbawahi perbandingan antara LPG dengan DME—yang sebenarnya juga digadang-gadang sebagai pengganti LPG — tidak berada pada level yang sama atau apple to apple.
Terlebih, LPG yang berasal dari impor itu masih mendapatkan subsidi dari pemerintah dan menciptakan harga yang makin kompetitif.
Menurutnya, jawaban dari permasalahan ini adalah skema penyaluran subsidi dari LPG diubah menjadi bantuan langsung tunai (BLT) dan harga komoditas energi itu kembali mengikuti pasar.
“Lalu jawabannya apa? [LPG] yang subsidi ini dinaikkan [harganya], berani tidak?,” ujarnya.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)