Bloomberg Technoz, Jakarta – Direktur Utama PT Mineral Industri Indonesia (MIND) Hendi Prio Santoso meminta dukungan DPR untuk mendorong moratorium smelter nikel berteknologi rotary kiln-electric furnace (RKEF) di tengah makin anjloknya harga feronikel.
Hendi menilai Komisi XII—yang membidangi sektor energi dan sumber daya mineral, lingkungan hidup, serta investasi — memiliki kuasa dalam memengaruhi tata niaga dan tata kelola industri pertambangan.
“Karena aspek regulasi, tentunya Komisi XII menjadi pengawas dan pembina sektor, maka kami berharap agar ada dukungan dari sisi tata kelola; mohon adanya pembatasan jumlah smelter yang dilakukan,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI, dikutip Kamis (5/12/2024).
Hendi menerangkan banjir populasi smelter nikel—khususnya yang berteknologi RKEF untuk mengolah saprolit menjadi bahan baku baja nirkarat — menyebabkan oversupply feronikel di pasar dunia.
“Kalau oversupply seperti yang sudah terjadi di feronikel, harganya jatuh karena oversupply yang secara tidak langsung dan tidak sengaja mungkin dilakukan, sehingga sekarang harga feronikel itu hampir tidak menutup biaya produksi,” keluhnya.

Kondisi tersebut, menurut Hendi, tidak menguntungkan bagi holding BUMN tersebut, yang sedang memiliki proyek untuk penyediaan energi sebesar 5 GW dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL)-nya.
Dengan demikian, kata Hendi, MIND ID meminta dukungan Parlemen untuk membatasi jumlah pabrik pengolahan nikel agar perseroan bisa lebih leluasa mencapai target penyediaan listrik untuk kebutuhan sendiri.
Nikel diperdagangkan di US$16.015/ton di London Metal Exchange (LME) pada Rabu, naik 2,05% dari hari sebelumnya.
BKPM Nilai Tak Urgen
Pada saat MIND ID mendesak moratorium smelter nikel, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menilai desakan moratorium smelter nikel RKEF tidak urgen untuk dieksekusi.
Hasyim Daeng Barang, Direktur Hilirisasi Mineral dan Batu Bara Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, mengatakan saat ini pemerintah—di tataran lintas kementerian teknis — masih membahas urgensi moratorium smelter nikel berbasis RKEF.
Pemerintah tengah menghitung berapa total smelter RKEF di Indonesia, berikut kapasitas produksi serta permintaannya.
“Akan tetapi, tidak mendesak juga sebenarnya [moratorium smelter RKEF]. Tanpa moratorium juga kan pasti orang [investor] sudah tidak ke arah situ, karena sudah banyak smelter-nya. Smelter RKEF itu sudah banyak,” ujarnya di agenda diskusi CSIS, akhir pekan lalu.
Menurutnya, pemerintah juga tidak bisa memaksakan penyetopan investasi smelter nikel RKEF. Meski demikian, dia meyakini investasi smelter RKEF akan melambat dengan sendirinya jika produksi olahan saprolit dari Indonesia sudah terlalu membanjiri pasar.
Sekadar catatan, smelter nikel pirometalurgi dengan teknologi RKEF mengolah bijih nikel kadar tinggi atau saprolit untuk menjadi ferronikel sebagai bahan baku baja nirkarat.
Jenis smelter nikel lainnya adalah hidrometalurgi dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) yang mengolah bijih nikel kadar rendah atau limonit menjadi mixed hydroxide precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya melaporkan Indonesia bakal memiliki 190 pabrik pemurnian atau smelter nikel, meskipun belum menjelaskan kapan semua fasilitas tersebut bakal beroperasi.
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq mengatakan 190 smelter nikel itu terdiri dari 54 smelter yang sudah beroperasi, 120 yang sedang tahap konstruksi, dan 16 dalam tahap perencanaan.

Dari 190 smelter tersebut, Julian mengatakan hanya 8 atau 9 smelter yang memiliki teknologi berbasis HPAL dan sisanya berbasis RKEF.
“Sebanyak 190 itu total 54 yang sudah beroperasi, 120 yang sedang konstruksi, 16 dalam tahap perencanaan, itu berdasarkan data BKPM,” ujar Julian saat ditemui di Jakarta Barat, akhir Oktober.
Julian mengatakan kebutuhan bijih nikel berada pada level 200.000 ton untuk 54 smelter yang saat ini beroperasi. Sementara itu, cadangan nikel Indonesia saat ini 5,3 miliar ton.
Dengan asumsi 190 smelter bakal beroperasi dan kebutuhan bijih nikel bakal meningkat 3 kali lipat, maka Kementerian ESDM memproyeksikan industri nikel bakal selesai 4—5 tahun ke depan bila tidak ada tambahan cadangan.
“Bisa bayangkan kalau nanti seumpama 190 smelter beroperasi, berarti habis nikel kita. Cadangan kita saat ini yang terdata 5,3 miliar ton, kalau pada 2023 kebutuhan [bijih nikel] adalah 200.000 ton, kemudian kita naikkan tiga kali lipat, maka kemungkinan industri kita akan selesai 4—5 tahun ke depan,” ujarnya.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)