“[Pelonggaran izin ekspor konsentrat juga dibutuhkan untuk] keberlanjutan investasi yang akan berdampak signifikan bagi ekonomi Indonesia, khususnya masyarakat Papua,” lanjutnya.
Saat dimintai konfirmasi perihal negosiasi pemerintah untuk menambah jatah kepemilikan saham di PTFI sebesar 10% di tengah isu pelonggaran ekspor konsentrat tembaga, Katri menolak memberikan komentar lantaran hal tersebut masih berupa wacana.
“Silakan ditanyakan ke Pak Bahlil [Lahadalia] atau kementerian terkait. Karena kami belum [dapat tindak lanjutnya], masih wacana. Baru pernyataan Pak Bahlil saja. Jadi kami tidak bisa jawab,” tegasnya.
Proses negosiasi tersebut sebelumnya diungkapkan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia di sela paparan realisasi penanaman modal triwulan I-2023, Jumat (28/4/2023).
Bahlil menjelaskan upaya pemerintah untuk mengakuisisi lebih banyak saham Freeport didasari oleh kebutuhan negara dalam menjaga produksi mineral dan penghiliran perusahaan tersebut. Terlebih, produksi Freeport diproyeksi mencapai puncaknya pada kisaran 2030—2035.
“Itu masa produksinya. Nah, produksi pada 2020-an itu hasil eksplorasi pada 1990-an. Jadi, eksplorasi di Freeport butuh waktu 10—15 tahun baru bisa dilakukan produksi. Beda dengaan eksplorasi nikel atau batu bara. Apalagi, Freeport ini tambangnya underground,” ujar Bahlil.
Atas pertimbangan tersebut, Bahlil mengungkapkan pemerintah tengah menjajaki kemungkinan untuk memperpanjang izin usaha pertambanggan khusus (IUPK) Freeport yang akan berakhir pada 2041.
Pemerintah, lanjutnya, tengah menghitung berapa masa perpanjangan IUPK yang layak untuk Freeport, dengan mempertimbangkan potensi cadangan mineral yang masih ada hingga 2035. Sejalan dengan itu, opsi mengakuisisi lebih banyak saham Freeport untuk dilimpahkan kepada badan usaha milik negara (BUMN) pun menyeruak.
“Apalagi sekarang di Freeport itu, saham [Pemerintah Indonesia] sudah 51%. Jadi dalam negosiasi sekarang, kalau kita bisa tambah lagi [porsi saham pemerintah sebesar] 10%, itu sudah bisa menjadi 60%. Kita lagi meminta kepada Freeport supaya penambahan [saham] itu kalau bisa tidak dihitung valuasinya. Dengan kata lain, kita lagi membicarakan untuk semurah mungkin [mengakuisisi saham PTFI] agar BUMN atau negara bisa mengambil [alih saham Freeport],” ungkapnya, tanpa bersedia mengelaborasi lebih detail lantaran proses negosiasi masih berlangsung.
Pernyataan Bahlil lantas didukung oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, yang menyatakan pihaknya sudah melakukan perbincangan dengan manajemen Freeport Indonesia terkait dengan sejumlah hal, salah satunya soal opsi penambahan saham.
"Jika kontrak [Freeport] sudah selesai, mau diperpanjang, tambah saham pastinya. Tambah saham buat negara supaya pemasukan negara bertambah, masuknya pajak tambah, dan dividen juga bertambah," ungkap Erick, Rabu (3/5/2023).
Manuver Blunder
Bagaimanapun, kalangan pakar energi menilai Lobi-lobi pemerintah untuk menambah kepemilikan saham di PTFI dinilai sebagai manuver yang kurang strategis. Pemerintah juga diimbau tidak gegabah memutuskan perpanjangan IUPK Freeport yang akan berakhir pada 2041.
Pakar ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fami Radhy mengatakan porsi kepemilikan saham pemerintah sebesar 51% di PTFI saat ini seharusnya sudah cukup untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam membuat berbagai kebijakan pertambangan, termasuk soal larangan ekspor konsentrat tembaga.
Atas dasar itu, dia pun mempertanyakan urgensi negosiasi pemerintah untuk menambah porsi saham di PTFI menjadi sekitar 60%.
“Saya kira untuk periode sekarang, manuver itu sangat tidak strategis. Pertama, apa tujuan yang ingin dicapai dalam 60% itu? Sesungguhnya, sekarang saja dengan 51% seharusnya sudah mayoritas, tetapi peran Freeport-McMoRan Inc masih jauh lebih besar. Misalnya, dalam hal ekspor konsentrat. Selalu tetap minta bisa relaksasi, juga selalu mengancam. Artinya apa? Meski [kepemilikan saham] lebih dari 51%, peran Indonesia itu tidak dominan. Kalau kondisi semacam ini masih tetap dipertahankan, [mau] 60% sekalipun tidak akan ada gunanya,” ujarnya saat dihubungi Rabu (3/5/2023).
Kedua, Fahmi menilai pemerintah akan memboroskan biaya untuk menambah kapital di Freeport, padahal tuah dari menambah kepemilikan saham di perusahaan tersebut masih belum tertakar.
“Untuk membeli [tambahan saham sebesar] 10% itu butuh biaya, harganya tinggi. Itu akan menguras dana yang cukup besar, sementara manfaatnya tidak begitu signifikan. Kalau pun ada tambahan dividen, misalnya, itu juga tidak begitu signifikan. Jadi harus jelas dahulu tujuannya. Apakah hanya ingin lebih mayoritas, atau ingin mendapatkan tambahan dividen atau apa? Itu harus jelas dahulu,” tegasnya.
Dia pun memperingatkan agar pemerintah tidak terburu-buru memberi perpanjangan IUPK terhadap Freeport, lantaran secara aturan, pembahasan untuk perpanjangan itu baru dapat dilakukan 5 tahun sebelum kontrak berakhir.
Untuk itu, dia menyayangkan pernyataan pemerintah terkait dengan diizinkannya ekspor konsentrat tembaga bagi PTFI melebihi tenggat 10 Juni 2023, sebagaimana dimandatkan dalam UU No.3/2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
“Pelonggaran ekspor konsentrat itu menurut saya sangat blunder dan melanggar UU Minerba bahwa seluruh hasil tambang harus dilakukan penghiliran di dalam negeri. Namun, karena smelter-nya belum selesai, maka Freeport minta perpanjangan. Kalau diizinkan, maka itu melanggar UU minerba. Apalagi kemudian diatur dengan permen [peraturan menteri]. Itu kan dibawah undang-undang. Jadi saya kira tidak benar, itu harus dibatalkan,” tuturnya.
(wdh)