Kenaikan PPN Bikin Ekonomi Lesu
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksi kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% akan mengoreksi pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,17%.
"Jika PDB nasional Rp12.301,4 triliun, maka PPN naik dari 11% ke 12% berpotensi menurunkan PDB sebesar 0,17% atau Rp20,91 triliun," ujar Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef M. Rizal Taufikurahman beberapa waktu lalu.
Rizal melandasi proyeksinya karena ada penurunan konsumsi rumah tangga. Mengacu data Bank Indonesia, pada Oktober, tingkat konsumsi (consumption rate) di Indonesia terlempar ke level Januari yaitu di 74,5%.
Selain itu, penurunan PDB akibat kenaikan PPN menjadi 12% juga didorong oleh penurunan penyerapan tenaga kerja agregat, menurunkan gaji bersih, serta menurunkan ekspor. Di sisi lain, indeks harga konsumen (IHK) dan indeks harga investasi atau yang biasa disebut Incremental Capital-Output Ratio (ICOR) akan meningkat.
"Dulu kami [Indef] hitung, dampak kenaikan PPN terhadap indikator kenaikan makro untuk pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi 0,17% dari business as usual. Kalau misalnya pertumbuhan ekonomi kita harusnya 5%, karena ada kenaikan PPN jadi 4,83%," ujar Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus dalam agenda diskusi publik, dikutip Selasa (19/11/2024).
Sebagai gambaran, Heri menjelaskan alur kenaikan PPN 12% yang menyebabkan terkoreksinya pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga.
Pertama, kenaikan PPN akan berdampak pada kenaikan biaya produksi dan konsumsi. Dalam kaitan itu, produsen atau sektor industri bakal merasakan kenaikan harga saat membeli barang setengah jadi yang sudah diolah dari bahan baku karena peningkatan PPN menjadi 12%.
Tidak hanya industri, peningkatan PPN menjadi 12% juga akan dirasakan oleh masyarakat. Dengan demikian, kenaikan PPN menjadi 12% akan berdampak pada kenaikan biaya produksi dan konsumsi.
Akibat kenaikan biaya produksi dan konsumsi, daya beli akan melemah yang juga bakal berdampak pada melemahnya utilisasi dan penjualan.
"Maka utilisasi dan penjualan menjadi tidak optimal, yang seharusnya mendekati 100% penjualannya, ini dikurangi karena permintannya melambat. Jadi tidak jual 100% lagi, tetapi dia kurangi penjualannya menjadi lebih sedikit,"
Utilisasi dan penjualan yang melemah bakal berdampak pada penurunan penyerapan tenaga kerja. Hal ini terjadi karena industri tidak lagi membutuhkan tenaga kerja yang maksimal dengan penurunan utilisasi, sehingga bakal terjadi pengurangan jam kerja bahkan pengurangan tenaga kerja.
Dengan demikian, pendapatan masyarakat bakal menurun. Bila pendapatan menurun, maka konsumsi turut menurun dan membuat penerimaan negara dari perpajakan yang berasal dari konsumsi juga aktivitas ekonomi melorot. Pada akhirnya, hal itu menghambat pemulihan ekonomi serta pencapaian target pertumbuhan ekonomi.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kenaikan PPN (single tarif) akan menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri, karena biaya produksi meningkat. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan skema multi tarif.
Selanjutnya, secara makro kenaikan PPN akan menyebabkan penurunan daya beli di tengah inflasi pangan yang relatif lebih tinggi. Semakin melemahnya daya beli masyarakat akan berdampak pula pada penurunan penjualan dan utilisasi industri. Seiring dengan kenaikan PPN, terjadi peningkatan biaya di saat permintaan melambat, maka dikhawatirkan akan terjadi penyesuaian dalam input produksi, termasuk penyesuaian penggunaan tenaga kerja.
"Hal ini akan berdampak terhadap penerimaan PPh (pajak penghasilan) yang terancam menurun," tegas dia.
Ketika kenaikan PPN, pemerintah berharap akan meningkatkan penerimaan negara secara agregat, namun perlu dikalkulasi untung dan ruginya terhadap perekonomian, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Pengeluaran Masyarakat Bertambah
Berdasarkan hasil riset Center of Economic and Law Studies (Celios) bertajuk 'PPN 12%: Pukulan Telak bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah', kenaikan PPN menjadi 12% diperkirakan membuat pengeluaran kelompok miskin melonjak Rp101.880 per bulan atau Rp1.222.566 per tahun.
Ekonom Celios Bhima Yudhistira memaparkan, bagi rumah tangga miskin, yang sebagian besar pengeluarannya sudah dialokasikan untuk kebutuhan pokok, tambahan biaya ini bisa memengaruhi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti pendidikan dan kesehatan.
"Kenaikan pengeluaran ini bisa mengurangi tabungan mereka, atau bahkan memaksa mereka untuk mengurangi kualitas konsumsi sehari-hari," ujar Bhima dalam hasil riset.
Bagi sebagian keluarga miskin, lanjut dia, pengeluaran tambahan ini bisa menjadi beban yang sangat berat, mengingat penghasilan mereka yang terbatas dan ketergantungan pada barang-barang pokok yang kini makin mahal.
PPN 12% Bebani Kelas Menengah
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Jahen Rizky menilai kenaikan PPN menjadi 12% merupakan kebijakan yang tidak pro dengan kebutuhan masyarakat, karena sebagin besar masih didominasi oleh kelas menengah ke bawah.
"Sifat dari PPN adalah regresif. Dua kelompok ini akan mendapatkan beban yang lebih besar dari segi dampak terhadap alokasi pendapatan mereka," tutur pria yang juga menjabat Wakil Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (LPEM FEB) UI itu.
Sebagai informasi, pajak yang bersifat regresif adalah sistem perpajakan yang diterapkan dengan cara tarif pajak menurun seiring dengan peningkatan jumlah yang dikenakan pajak. Sistem pajak dikatakan regresif jika rasio pajak yang dibayarkan terhadap penghasilan oleh wajib pajak semakin kecil seiring dengan meningkatnya penghasilan individu.
Dia menilai, penerapan kenaikan PPN ini tidak tepat, baik dari sisi momentum. Terlebih diiringi dengan pengajuan program pengampunan pajak atau tax amnesty.
"Dari segi timing dan message yang diberikan juga tidak pas. Sebaiknya pemerintah menunda kebijakan kenaikan PPN dan juga tidak memberikan pengampunan pajak bagi kelompok kaya," kata Jahen.
Timbulkan Efek Domino: PPN 12% Bentuk Pemerintah Gagal
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute Putu Rusta Adijaya menilai kebijakan pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 akan menimbulkan efek domino terhadap perlambatan roda ekonomi nasional.
Putu mengimbau pemerintah untuk menyusun kebijakan fiskal dengan lebih matang, dan melakukan sosialisasi terkait implementasi kebijakan tersebut secara lebih transparan.
"Hal ini menimbulkan efek domino. Pemerintah bisa transparan mengeluarkan kebijakan, terutama terkait pajak dan dampaknya," kata Putu kepada Bloomberg Technoz, dikutip Selasa (25/11/2024).
Dia mengatakan kebijakan pemerintah menaikkan PPN hingga menjadi 12% merupakan bentuk kegagalan pemerintah atau government failure. Pasalnya, kebijakan ini menyebabkan ketimpangan keadilan pajak di tengah kondisi masyarakat menengah bawah yang sedang turun kelas.
Selanjutnya, hal ini akan berdampak pada kepercayaan publik kepada pemerintah. Di satu sisi, kenaikan PPN 12% itu lebih banyak dampak negatif secara ekonomi dibandingkan positifnya di tengah kondisi ekonomi yang tak stabil seperti saat ini.
Jika Prabowo mampu menunda kebijakan kenaikan PPN, menurut dia, hal itu akan memberikan sinyal bahwa pemerintahannya peduli dengan kondisi kelas menengah.
"Prabowo akan dianggap peduli dengan menurunnya daya beli masyarakat di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi," ujar Putu.
Menurut dia, isu kenaikan PPN dari semula 11% menjadi 12% adalah isu yang sangat sensitif, terutama bagi kelas menengah. Pasalnya, mereka menanggung beban terbesar dari kebijakan ini.
Putu berpendapat, pemerintah mengalami dilema antara menjalankan kebijakan tak populis dengan aspek fiskal lain, seperti kebutuhan anggaran yang sangat besar untuk menjalankan program prioritas yang ambisius dari pemerintahan baru.
DPR Malah Sebut Tak Ada Alasan Kuat Tunda PPN 12%
Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad mempertanyakan alasan yang melandasi keputusan untuk penundaan PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.
"Alasannya menunda apa? alasannya apa?," ujar Kamrussamad saat ditemui di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dikutip Rabu (4/12/2024).
Menurut dia, hal yang perlu dilihat adalah seberapa besar dampak kenaikan PPN sebelumnya dari 10% menjadi 11% yang mulai berlaku sejak 1 April 2022 terhadap daya beli.
Kamrussamad membenarkan memang data konsumsi rumah tangga Indonesia tumbuh di bawah 5%. Namun, menurut dia, konsumsi tersebut harus diperdalam per sektor pengeluarannya.
(lav)