Sebagai gambaran, lanjutnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan komponen pengeluaran rumah tangga sebesar 48,99% merupakan makanan dan minuman. Namun, fasilitas seperti restoran mendapatkan tarif pajak bangunan 1 (PB1) 10% atau tidak mengalami kenaikan.
"Berdasarkan data BPS 2023, komponen terbesar pengeluaran rumah tangga 48,99%. Itu makan minum. Itu PB1. Tidak boleh lebih dari 10%, baik di restoran atau di mana pun," ujarnya.
Sementara itu, 26% komponen pengeluaran rumah tangga, kata Kamrussamad, berasal dari dapur dan perumahan. Salah satu komponen perumahan adalah listrik, di mana golongan yang dikenakan PPN adalah 6.600 VA, sementara golongan di bawahnya tidak kenakan PPN.
Menilik data BPS 2023, 48,99% komponen pengeluaran rumah tangga memang berasal dari makanan. Namun, jumlah persentase komponen bukan makanan lebih besar, yakni 51,01% yang terdiri dari perumahan dan fasilitas rumah tangga; barang dan jasa; pakaian, alas kaki dan tutup kepala; barang-barang tahan lama; pajak dan asuransi; serta keperluan pesta dan upacara.
Sepanjang 2024, komponen pengeluaran rumah tangga terdiri dari 50,1% makanan dan 49,9% bukan makanan.
Anggota DPR dari Fraksi Gerindra itu juga mensinyalkan kenaikan PPN menjadi 12% tidak akan ditunda dari rencana penerapannya pada 1 Januari 2025.
Kamrussamad mengatakan hingga saat ini belum ada pembicaraan formal yang membahas penundaan kebijakan PPN menjadi 12% tersebut.
Sejauh ini, kata Kamrussamad, Komisi XI DPR RI juga belum pernah mendapatkan usulan dari pemerintah untuk membahas penundaan tersebut.
“Belum pernah, karena saya kira kita konsisten sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP),” ujarnya.
Ekonom: Kenaikan PPN Bikin Ekonomi Makin Lesu
Ekonom menilai kebijakan pemerintah menaikkan tarif PPN dari semula 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 akan menimbulkan efek domino terhadap perlambatan roda ekonomi nasional.
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute Putu Rusta Adijaya mengimbau pemerintah untuk menyusun kebijakan fiskal dengan lebih matang, dan melakukan sosialisasi terkait implementasi kebijakan tersebut secara lebih transparan.
"Hal ini menimbulkan efek domino. Pemerintah bisa transparan mengeluarkan kebijakan, terutama terkait pajak dan dampaknya," kata Putu kepada Bloomberg Technoz, dikutip Selasa (25/11/2024).
Putu menilai kebijakan pemerintah menaikkan PPN hingga menjadi 12% merupakan bentuk kegagalan pemerintah atau government failure. Pasalnya, kebijakan ini menyebabkan ketimpangan keadilan pajak di tengah kondisi masyarakat menengah bawah yang sedang turun kelas.
Selanjutnya, hal ini akan berdampak pada kepercayaan publik kepada pemerintah. Di satu sisi, kenaikan PPN 12% itu lebih banyak dampak negatif secara ekonomi dibandingkan positifnya di tengah kondisi ekonomi yang tak stabil seperti saat ini.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menggambarkan rencana peningkatan PPN menjadi 12% saat perekonomian sedang melemah seperti 'sudah jatuh tertimpa tangga'.
Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto menjelaskan konsumsi rumah tangga berada di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi dalam empat triwulan terakhir.
Sebagai gambaran, pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat menjadi 4,91% secara tahunan atau year on year (yoy) pada kuartal III-2024 dibandingkan dengan 4,93% pada kuartal II-2024 sebesar 4,93% yoy.
"Awal tahun Imlek, disusul puasa dan lebaran, disusul Pemilu [pertumbuhan konsumsi rumah tangga] tidak sampai 5%. Itu sebetulnya harus ada sign of crisis," ujar Eko dalam agenda Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025, Kamis (21/11/2024).
Menurut Eko, pemerintah sebenarnya bisa mengubah ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP, entah melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau melakukan revisi UU.
Di lain sisi, Eko mengakui, pemerintah mematok penerimaan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah sebesar Rp945 triliun pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, yang lebih tinggi dibandingkan APBN 2024.
"Tahun ini pun juga sudah mulai melambat ini ya saya lihat tadi di data itu sampai Oktober itu sudah melambat year on year minus 0,4%," ujarnya.
Sekadar catatan, pendapatan PPN barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) direncanakan sebesar Rp811,36 triliun pada APBN 2024, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2023 tentang APBN 2024.
(dov/lav)