Sikap Pemerintah dan Parlemen yang senada seirama melanjutkan kebijakan kenaikan tarif pajak menjadi 12%, tertinggi dibanding negara-negara tetangga, seakan ironis di tengah berbagai protes masyarakat yang meluas baik dari kalangan dunia usaha maupun masyarakat konsumen.
Protes tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi konsumsi masyarakat yang saat ini sejatinya sudah tertekan. Menaikkan tarif pajak lebih mahal dinilai akan semakin menekan daya beli, menyeret kelesuan penjualan ritel kian dalam, hingga berimbas pada gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang makin marak.
"Berbagai indikator ekonomi sudah jelas [terjadi pelemahan] padahal belum semua kebijakan [pungutan baru] diterapkan. Banyak subsektor ekonomi yang sudah mencatat penurunan pertumbuhan," kata Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira.
Kalangan pengusaha juga tak kalah lantang bersuara menolak kebijakan kenaikan pajak tersebut. Pajak yang makin mahal bisa menurunkan belanja masyarakat kian dalam. Alhasil, penjualan ritel yang sudah tertekan bisa semakin terbenam dengan tarif pajak yang tinggi tersebut.
Tagor Sidik Sigiro, Audit and Assurance Partner Grant Thornton, mengungkapkan, concern utama dunia usaha saat ini adalah perihal kelesuan konsumsi masyarakat. Pelaku dunia usaha akan berusaha memasang survival boat alias sekoci setidaknya setahun ke depan untuk bertahan, menurutnya.
"Pelaku usaha concern dengan kebijakan fiskal pemerintah. Multiplier effect [dari kebijakan tarif pajak] harus ditinjau lagi karena bisa berdampak pada konsumsi lebih jauh, padahal konsumsi masyarakat jadi motor utama pertumbuhan," kata Tagor.
Sebanyak lebih dari 15.000 orang saat ini sudah menandatangani petisi penolakan akan tarif PPN 12%. Suara penolakan itu sejatinya berdasar karena berbagai indikator ekonomi terkini memperlihatkan tekanan konsumsi itu memang terjadi dan sudah menyeret pertumbuhan ekonomi pada kuartal III lalu jadi makin melambat.
Berikut ini wajah perekonomian RI berdasarkan data terakhir dan risiko yang mungkin terjadi bila kebijakan tarif PPN 12% terus dilanjutkan:
Konsumsi Melemah
Pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal III-2024 melambat, hanya 4,95%, lebih rendah dalam setahun terakhir. Penyebab utama perlambatan ekonomi domestik adalah karena konsumsi rumah tangga tertekan.
Konsumsi rumah tangga merupakan motor utama ekonomi nasional karena sumbangannya mencapai lebih dari 50% Produk Domestik Bruto. Konsumsi rumah tangga pada periode tersebut hanya tumbuh 4,91%.
Kajian yang dilakukan oleh para ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menghitung, kenaikan tarif PPN jadi 12% berpotensi menggerus konsumsi rumah tangga hingga sebesar 0,26%.
Akibat motor utama pertumbuhan tertekan makin dalam, laju ekonomi RI berisiko makin melemah dengan penurunan PDB diperkirakan mencapai 0,17% akibat penerapan PPN 12%.
Data terakhir yang dilansir Bank Indonesia, tingkat konsumsi (consumption rate) masyarakat pada Oktober lalu, terlempar lagi ke level Januari yakni sebesar 74,5%.
Tingkat konsumsi sehari-hari juga masih berada dalam tren penurunan di mana pada Mei lalu sempat di 104,6, akan tetapi pada Oktober menyentuh level 95,0.
Penjualan Ritel Turun
Indeks Penjualan Riil pada Oktober jatuh ke level terendah setahun terakhir yaitu di 209,5, setelah memuncak pada Lebaran lalu di angka 236,3, April lalu.
Secara tahunan, kinerja penjualan ritel pada Oktober diperkirakan hanya tumbuh 1%, juga terendah sejak April. Adapun secara bulanan, penjualan ritel bahkan beberapa kali membukukan kontraksi (tumbuh negatif) selama periode Mei-Oktober kecuali pada Juni yang tumbuh sedikit 0,4% dan Agustus 1,7%.
Pelemahan terjadi di hampir semua segmen ritel. Bahkan beberapa subsektor mencatat kontraksi beruntun dalam empat bulan terakhir, seperti kategori Perlengkapan Rumah Tangga lainnya.
Adapun subsektor Peralatan Informasi dan Komunikasi bahkan telah mencatat kontraksi selama dua tahun terakhir di mana Indeks Penjualan Riil subsektor ini terjun ke level 87 pada Oktober, terendah sejak 2022.
Peredaran Uang Melambat
Laporan Bank Indonesia melansir, peredaran uang pada Oktober hanya tumbuh 6,7% year-on-year sebesar Rp9.078,6 triliun. Pertumbuhannya lagi-lagi lebih rendah dibanding bulan sebelumnya sebesar 7,2%.
Perlambatan uang beredar pada Oktober terutama karena penurunan laju pertumbuhan Uang Kuasi, yakni uang yang disimpan dalam rekening tabungan, giro juga deposito.
Penurunan uang kuasi terutama karena penempatan dana di Giro Valas yang anjlok, diikuti oleh perlambatan pertumbuhan Giro Rupiah di perbankan. Sementara uang yang mengendap di Uang Elektronik pertumbuhannya juga melambat.
Tabungan Masyarakat Tergerus
Tingkat tabungan (saving rate) masyarakat terus turun ke level 15% pada Oktober. Padahal pada Maret lalu sempat menyentuh 17%. Pada saat yang sama, konsumsi bertahan di kisaran 74,5% mengisyaratkan masyarakat Indonesia banyak memakai tabungan untuk mempertahankan konsumsi.
"Data itu menunjukkan bahwa konsumen di Indonesia masih mengorbankan tabungannya untuk mempertahankan daya beli," kata Macro Strategist Mega Capital Lionel Priyadi.
Manufaktur Terpuruk
Aktivitas manufaktur RI pada November masih belum mampu beranjak dari zona kontraksi, dengan Purchasing Managers' Index (PMI) sebesar 49,6, menurut laporan S&P Global.
Angka itu memang sedikit lebih baik dibanding Oktober yang sebesar 49,2, akan tetapi masih di bawah 50 yang berarti terjadi kontraksi. Alhsil, PMI manufaktur Indonesia dalam lima bulan terakhir terpuruk di zona kontraksi.
Para responden survei tersebut masih melaporkan aktivitas pasar yang sepi, terlihat dari pelemahan daya beli. Adapun pemesanan barang ekspor juga kembali turun. Itu menjadi penurunan selama 9 bulan beruntun dan semakin dalam.
PHK Makin Banyak
Melansir publikasi Kementerian Tenaga Kerja, pada Oktober lalu, terdapat 63.947 orang pekerja yang kehilangan pekerjaan karena vonis PHK. Dibandingkan Oktober 2023, angka itu melonjak 40% dan sudah hampir melampaui total kejadian PHK sepanjang tahun lalu.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) memang telah turun ke level 4,91%, turun 0,41 persen poin dibanding tahun sebelumnya. Akan tetapi, berbagai data lebih terperinci menunjukkan kondisi ketenagakerjaan domestik tertekan.
Sektor informal masih mendominasi, mencapai 83,83 juta orang atau sekitar 57,95% dari total penduduk bekerja. Rasio Setengah Pengangguran atau Pengangguran Terpaksa juga makin besar mencapai 8%, tertinggi sejak era pandemi Covid-19.
Ancaman Resesi
Hasil survei terakhir yang dihelat oleh Bloomberg mencatat, perlambatan ekonomi masih akan berlanjut pada kuartal akhir ini dan tahun depan.
Sebanyak 32 ekonom memperkirakan, pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal IV-2024 hanya akan tumbuh 4,93% year-on-year, melambat dibanding capaian kuartal sebelumnya 4,95%.
Alhasil, keseluruhan tahun ini, PDB RI akan stuck di angka 5%, melambat dibanding capaian 2023 sebesar 5,05%. Tahun depan, stagnasi berlanjut di mana ekonomi diramal hanya bisa tumbuh 5% saja.
Para ekonom juga menilai perekonomian Indonesia memiliki potensi mengalami resesi dalam 12 bulan dengan probabilitas makin besar, mencapai 10%. Sebagai perbandingan, pada Juli lalu, risiko resesi ekonomi RI masih 0%.
-- dengan bantuan laporan Dovana Hasiana.
(rui)