“Ada penambahan investasi, kemudian belum lagi investasi yang dahulu. Jadi bagi kami [PLN], ya kalau kami bisa ada [bantuan] dana internasional gratis yang cost neutral, kami tidak menambah biaya apapun,” tutur Darmawan.
Biaya Tambahan Rp50 T
Menurut perhitungannya, menyuntik satu PLTU akan dikenakan tambahan biaya sekitar Rp 30 triliun sampai Rp50 triliun. Dia juga menegaskan ketika PLN beralih ke EBT, sistemnya harus terjaga keandalannya. Pada saat bersamaan, konsep EBT yang dicanangkan juga harus futuristik.
“Tentu saja kami berkomunikasi secara lugas kepada global investor, global communities. Monggo saja kalau memang ada yang mau memberikan [pendanaan] dalam jumlah yang besar, kemudian pembangkit kami diganti dengan yang lebih fresh yang futuristik, dan menguntungkan bagi pemerintah, PLN, dan rakyat; why not?" tutur Darmawan.
Di sisi lain, Darmawan menegaskan, pengalihan PLTU menjadi EBT tidak semudah yang diperkirakan. Dia pun memberikan sinyal positif bagi komunitas global untuk ikut serta dalam mendukung Indonesia menuju keberlanjutan.
“Kebetulan kami beruntung dari pemerintah, dari Presiden sendiri sudah mencanangkan itu [suntik mati PLTU]. Akan tetapi, sampai saat ini proses coal phased out tidak dalam jumlah itu. Kami analisis satu demi satu dan kami juga spesifik seperti apa bantuan dari dunia internasional, tetapi yang jelas kita mendukung itu,” jelas Darmawan.
Dimulai dari PLN
Pada kesempatan terpisah, Penasihat Khusus Presiden Urusan Energi Purnomo Yusgiantoro berpendapat suntik mati seluruh PLTU berbasis batu bara dalam 15 tahun, harus dimulai dari fasilitas yang dimiliki oleh PLN.
Purnomo mengatakan 60% dari sekitar 253 PLTU batu bara di Indonesia dioperasikan oleh PLN.
“Nah, yang pasti bisa dilakukan dahulu sekarang itu adalah PLN. Atau IPP [independent power producer/pembangkit swasta], yang dia itu swasta tapi kontraknya sudah habis. Itu bisa,” ujarnya di sela agenda Ecofest 2024 oleh Bloomberg Technoz, Kamis (28/11/2024).
Purnomo tidak menampik kendala pendanaan masih menjadi isu pemadaman PLTU batu bara di Indonesia. Jika tidak ada bantuan pendanaan, dia memperkirakan RI hanya bisa memadamkan sekitar 31% pembangkit batu baranya.
“Namun, kalau ada bantuan pendanaan luar, itu 41% bisa drop. Karena itu, yang ditutup PLTU-nya PLN dahulu, yang paling gampang kan dan yang paling enak PLN dahulu. Betul tidak? Lalu digantikan dengan energi terbarukan yang sudah siap. Kuncinya di pendanaan.”
Purnomo menggarisbawahi pendanaan pensiun PLTU tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan pemerintah. Terlebih, beban anggaran yang dibutuhkan pemerintah saat ini sangat banyak untuk menjalankan berbagai program prioritas Prabowo.
“Jadi bagaimana kita bisa mendanai [pemadaman PLTU]? Itu masih jadi isu. Kalau dari dalam negeri, bisa, tetapi business as usual. [Kebutuhan dana pemadaman PLTU] angkanya besar sekali, miliaran dolar AS. Itu baru punya PLN, belum punya swasta” ujarnya.
“Hal yang kita lakukan dahulu mungkin [memadamkan PLTU] yang punya negara dahulu, punya BUMN, yang bisa diajak negosiasi. Kemudian, itu juga punya uang. Kalau ini ditutup, harus diganti megawattnya, kalau tidak kan bisa blackout nanti. Kalau blackout, isunya jadi isu kemasyarakatan.”
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyatakan janji untuk mengonversi seluruh PLTU berbasis batu bara di Indonesia ke energi baru terbarukan (EBT) dalam 15 tahun ke depan.
Pernyataan itu diutarakan di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil pekan ini, pada sesi yang mengangkat tema Sustainable Development and Energy Transition.
“Kami juga memiliki sumber daya panas bumi yang luar biasa, dan kami berencana untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan semua pembangkit listrik tenaga fosil dalam 15 tahun ke depan. Kami berencana untuk membangun lebih dari 75 gigawatt tenaga terbarukan dalam 15 tahun ke depan,” tegasnya dikutip dari laman Sekretariat Presiden.
Dalam sebuah kesempatan di Bloomberg CEO Forum pada September tahun lalu, Luhut Binsar Pandjaitan—yang kala itu masih menjabat sebagai Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi — sempat menyinggung bahwa dana kesepakatan iklim Indonesia senilai JETP belum cukup untuk mempercepat transisi energi di Tanah Air.
Menurut perhitungannya, kebutuhan anggaran untuk pemensiunan dini PLTU berbasis batu bara di Indonesia saja mencapai setidaknya US$100 miliar (sekitar Rp1,59 kuadriliun).
"Jika Anda melihat kembali, hasil [kesepakatan JETP di] G-20 senilai US$20 miliar. Namun kenyataannya, menurut saya, bisa [kebutuhan Indonesia] mencapai US$100 miliar. Ini dana yang perlu disiapkan," ujarnya.
(mfd/wdh)