Menurut Khilmi, masalah banyaknya PLTU batu bara yang saat ini beroperasi di Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari ambisi Presiden ke-7 Joko Widodo untuk membangun pembangkit berkapasitas 35.000 megawatt (MW).
Namun, saat ini fokus pemerintah telah bergeser untuk memenuhi komitmen emisi nol bersih sebelum 2060, sesuai Kesepakatan Paris atau Paris Agreement. Selaras dengan itu, tuntutan untuk memadamkan atau bahkan memensiunkan dini PLTU batu bara pun makin tinggi.
Bahkan, Presiden Prabowo Subianto—di sela KTT Apec 2024 di Lima, Peru belum lama ini — telah mendeklarasikan bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen memadamkan seluruh PLTU batu bara dalam 15 tahun, dan mentransisikannya ke penggunaan energi bersih.
Per 2023, padahal, jumlah PLTU yang beroperasi di Tanah Air mencapai 253 unit, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Kita ini kalau mau mematikan PLTU yang sudah ada itu harus diambil [dipertimbangkan] untung-ruginya. Jadi, kalau kita mau matikan PLTU-PLTU itu dengan harga listrik naik, kan industri-industri kita juga tidak akan bisa hidup,” tuturnya.
Dampak Berlapis
Pada kesempatan terpisah, Wakil Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Elrika Hamdi menilai negara tidak akan mampu untuk memenuhi pembiayaan target pemadaman PLTU batu bara tersebut.
Pun, ketika harus mencari pinjaman dana murah yang berasal dari Bank Dunia atau World Bank, Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB), hingga dana publik; pinjaman tersebut memiliki limitasi.
“Sebenarnya ada saja beberapa [lembaga keuangan] yang mengindikasikan interest untuk bisa membiayainya. Akan tetapi, kalau semuanya memakai commercial financing, enggak akan jadi ekonominya. Tidak akan tercapai. Makanya, harus ada dana murah,” kata Elrika di sela Ecofest 2024 oleh Bloomberg Technoz, akhir November.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memikirkan dampak terhadap PLN sebagai pemilik kapasitas jaringan listrik. Dia mencontohkan, jika 1 gigawatt (GW) kapasitas yang ada di PLTU harus diganti dari pembangkit energi baru terbarukan (EBT), pemilik aset PLTU juga terdampak.
Apalagi, kebanyakan PLTU yang dioperasikan PLN masih memiliki masa pakai selama 30—40 tahun lagi. Walhasil, tuntutan untuk pensiun dini lebih cepat akan memengaruhi bisnis PLN.
“Apakah pengganti tersebut bisa sama murahnya sama yang biasa mereka dapatkan dari si PLTU? Bisa kompetitif enggak harganya sama PLTU? Karena kita ngomongin baseload ya, kita bukan ngomongin renewable. Jadi untuk bisa mendapatkan baseload menggantikan 1 GW itu enggak mudah,” tutur Elrika.
Elrika menegaskan penutupan satu PLTU saja menjadi perkara yang tidak mudah, apalagi harus menutup ratusan PLTU seperti yang diinginkan Prabowo.
“Menutup [PLTU] satu saja sulit banget dan dampak terhadap biaya kapasitas jaringan listrik maupun replacement cost-nya itu gede. Bayangkan kalau menutup semua [PLTU]. Jadi memang bukan perkara mudah, ya. Apakah financing-nya ada? Apakah financing-nya cukup ekonomis?,” tutur Elrika.
Selaras dengan ambisi Prabowo menutup PLTU batu bara dalam 15 tahun, Kementerian ESDM sebelumnya memproyeksikan kebutuhan investasi untuk mengembangkan pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan (EBT) mencapai US$55,18 miliar (atau setara Rp879,83 triliun asumsi kurs saat ini) hingga 2030.
Dengan demikian, investasi menjadi salah satu tantangan untuk mencapai target bauran EBT dalam ketenagalistrikan yang sebelumnya dicanangkan 23% pada 2025.
“Kalau banyak pertanyaan kenapa 23% belum tercapai? Jawabannya karena investasinya tidak ada,” ujar Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi dalam agenda Green Economy Expo, Juli.
Dalam paparannya, Eniya mengelaborasikan kebutuhan investasi dari berbagai pembangkit listrik berbasis EBT dalam target Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) hingga 2030, di antaranya adalah:
1) Pembangkit listrik tenaga (PLT) Air
- Target penambahan kapasitas sampai dengan 2030: 10,4 gigawatt (GW)
- Total penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK): 46,46 juta ton setara karbon dioksida atau CO2e
- Membutuhkan investasi: US$25,63 miliar (atau setara Rp418,6 triliun asumsi kurs saat ini)
2) PLT Surya Skala Besar
- Target penambahan kapasitas sampai dengan 2030: 4,68 GW
- Total penurunan emisi GRK: 6,97 juta ton CO2e
- Membutuhkan investasi: US$3,2 miliar
3) PLT Panas Bumi
- Target penambahan kapasitas sampai dengan 2030: 3,35 GW
- Total penurunan emisi GRK: 22,4 juta ton CO2e
- Membutuhkan investasi: US$17,35 miliar
4) PLT Bioenergi
- Target penambahan kapasitas sampai dengan 2030: 590 MW
- Total penurunan emisi GRK: 4,61 juta ton CO2e
- Membutuhkan investasi: US$2,2 miliar
5) PLT Bayu
- Target penambahan kapasitas sampai dengan 2030: 597 MW
- Total penurunan emisi GRK: 2,22 juta ton CO2e
- Membutuhkan investasi: US$1,03 miliar
6) PLT EBT Base
- Target penambahan kapasitas sampai dengan 2030: 1,01 GW
- Total penurunan emisi GRK: 4,51 juta ton setara karbon dioksida atau CO2e
- Membutuhkan investasi: US$5,49 miliar
7) PLT Peaker
- Target penambahan kapasitas sampai dengan 2030: 300 MW
- Total penurunan emisi GRK: 2,01 juta ton setara karbon dioksida atau CO2e
- Membutuhkan investasi: US$0,28 miliar
(wdh)