Sepanjang tahun ini, dinamika pasar memang cukup tajam. Sentimen bukan hanya digerakkan oleh ekspektasi di seputar arah kebijakan bunga global ataupun tensi konflik di Eropa maupun Timur Tengah.
Yang terbaru, keterpilihan Donald Trump sebagai Presiden AS ke-47, telah memicu turbulensi pasar nan tajam sejak awal bulan lalu, dalam apa yang dikenal sebagai efek 'Trump Trade'. Sedikitnya Rp30 triliun dana asing hengkang dari pasar keuangan domestik selama November karena sentimen risk-off tersebut.
Arus keluar modal asing diprediksi akan berlanjut tahun depan terutama bila Trump merealisasikan kebijakan yang potensial melejitkan lagi inflasi di AS dan memperlambat laju pelonggaran moneter. Alih-alih, kebutuhan belanja pemerintah AS yang besar, diprediksi akan menaikkan tingkat imbal hasil Treasury, surat utang AS, hingga ke 4,5% tahun depan.
Bagi para investor di Tanah Air, perubahan lanskap global itu menjadi salah satu hal terpenting yang perlu dipertimbangkan. Peringatan dari Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam acara Banker's Dinner Jumat pekan lalu, layak digarisbawahi.
Ekonomi tahun 2025 dan 2026 akan cenderung redup terutama karena perubahan lanskap geopolitik terutama di AS akan berdampak signifikan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
"Prospek ekonomi global akan meredup pada 2025 dan 2026. Ketidakpastian semakin tinggi dengan lima karakteristik, yakni slower and divergent growth, reemergence inflation pressure, lalu higher US interest rate, strong dollar dan Invest in America," kata Perry.
Toh, kendati ada risiko yang bisa meredupkan capaian, bank sentral menaikkan prediksi pertumbuhan tahun depan. Prakiraan BI, pertumbuhan ekonomi RI pada 2025 akan berada di kisaran 4,8%-5,6%, sementara pada 2026 ada peluang lebih kuat di 4,9%-5,7%.
Lantas, investasi di mana yang cocok tahun depan dengan prospek perekonomian global serta domestik masih akan penuh tantangan?
Dolar AS
Bila mengacu pada isu utama yang memicu pergolakan baru di pasar, yakni faktor Trump, dolar AS potensial menjadi aset pilihan utama investor.
Sepanjang tahun ini, kurs dolar AS sudah menguat 3,42% year-to-date. Pada perdagangan hari ini, dolar AS sempat menyentuh level Rp15.969/US$ akibat tekanan eksternal.
Kebijakan Trump yang potensial melejitkan lagi inflasi, menempatkan dolar AS sebagai buruan utama investor menjadi semacam safe haven. Indeks dolar AS sudah melesat ke level 107,5 pada 22 November lalu, tertinggi dalam dua tahun terakhir.
Ketika Trump pertama menang Pemilu 2016, gerak dolar AS juga mirip dengan saat ini di mana the greenback melonjak kuat di awal yakni selama November-Desember 2016. Namun, setelahnya dolar AS cenderung melemah selama tujuh bulan.
Akan tetapi, selama empat tahun periode Trump 1.0, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terpuruk dalam. Yakni dari tadinya di kisaran Rp13.000-an pada awal November 2016, bulan kala Trump terpilih pertama kali. Rupiah lantas 'terbanting' melemah ke level Rp15.200-an dalam dua tahun. Kala pandemi pecah, nilai rupiah makin ambrol menyentuh level terlemah sepanjang sejarah di Rp16.575/US$ pada 2020.
Berkaca pada catatan historis itu, peluang dolar AS makin mahal kembali terbuka di era Trump. Selama kuartal IV-2024. Mata uang negara berkembang di Asia akan cenderung melemah selama lima tahun kepemimpinan AS di bawah Trump, menurut analisis ANZ Bank terbaru.
Head Asia Research ANZ Bank Khoon Goh memperkirakan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akhir tahun ini akan ada di Rp15.930/US$, seperti dilansir dari Bloomberg News.
Lalu, pada kuartal 1-2025, rupiah akan makin lemah di Rp16.100/US$, berturut-turut selama kuartal berikutnya akan ada di Rp16.150/US$, lalu Rp16.200/US$ dan pada akhir 2025 di Rp16.250/US$.
Di Tanah Air, minat pemilik dana beternak dolar AS juga cukup meningkat.
Nilai Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam valuta asing per akhir September Rp207,36 triliun dalam bentuk tabungan, naik 28,2% dibanding posisi akhir tahun lalu.
Lalu, dana valas dalam bentuk deposito juga meningkat 5,62% menjadi Rp359,06 triliun sepanjang tahun ini.
Sementara dalam bentuk giro valas, yang mendominasi DPK valas, stagnan dengan pertumbuhan 0,5% year-to-date menjadi sebesar Rp796,62 triliun.
Bitcoin
Mata uang kripto, Bitcoin, menjadi aset yang paling menikmati keuntungan berkat kemenangan Trump. Sehari sebelum Trump menang Pilpres pada 5 November, harganya masih di US$67.086.
Namun, begitu Trump unggul berdasarkan hasil hitung cepat, Bitcoin mencetak reli luar biasa hingga sempat menyentuh US$99.420 pada 22 November lalu.
Dana global banyak menyerbu mata uang kripto ini, salah satunya karena mempercayai ekosistem kripto akan lebih maju berkat dukungan Trump yang pro dengan valuta digital tersebut.
Arus masuk dana global ke ETF spot Bitcoin bahkan menembus US$6,2 milliar selama November saja, rekor tertinggi sejauh ini.
Prospek Bitcoin dinilai akan makin mentereng pada era Trump nanti. Terutama juga karena Kongres dan Senat AS banyak diisi nama-nama pendukung kripto yang potensial mendorong regulasi prokripto di masa mendatang. Laporan Politico.com, ada sekitar 13 kandidat pro-kripto baru yang berpeluang masuk menjadi anggota Parlemen AS dengan dukungan jaringan industri super PAC.
Mereka telah menghabiskan banyak uang untuk mempromosikan sekutu dan memblokir kritik yang mengemuka di negeri itu terkait mata uang kripto. Calon anggota Kongres dari Demokrat menggembar-gemborkan aset digital sebagai alat inklusi keuangan. Begitu juga dari kubu Republik yang menilai kripto bisa menciptakan 'kebebasan ekonomi'.
Emas
Harga emas dunia telah melesat 28% sepanjang tahun ini. Emas bahkan berulang memperbarui rekor harga termahal sepanjang sejarah.
Emas mencetak level penutupan harga tertinggi pada akhir Oktober lalu di US$2.787 per troy ounce.
Meski saat ini bergerak lebih lemah di kisaran US$2.643 per troy ounce, para bank investasi global yang notebene berpengaruh besar pada arus keluar masuk dana di berbagai aset di pasar dunia, masih mengunggulkan emas untuk tahun depan.
Goldman Sachs memperkirakan harga emas dunia bisa menembus US$3.000 per troy ounce pada 2025 nanti, terungkit tren penurunan bunga The Fed, bank sentral AS, yang berlanjut.
Kemenangan Trump juga dinilai makin membuat pamor dolar AS melejit. "Terus beli emas," kata Daan Struyven, analis Goldman Sachs dilansir dari Bloomberg News.
Bank sentral di banyak negara diperkirakan masih terus melanjutkan pembelian emas. Selain itu, faktor siklikal juga akan mengungkit emas karena dana mengalir keluar dari ETF ke emas seiring penurunan bunga The Fed.
Prediksi bullish untuk emas juga datang dari UBS Group AG dan Schroders.
Bagi investor emas lokal, harga emas dunia yang terus melanjutkan rekor di tengah nilai dolar AS yang kian mahal akan menjadi kombinasi pengungkit harga emas di Tanah Air. Itu karena harga emas lokal, seperti yang diproduksi oleh PT Aneka Tambang Tbk, ditentukan berdasarkan harga emas global dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
(rui)