Sebab, Raden mengatakan rencana kenaikan PPN menjadi 12% itu memang sudah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dengan demikian, dibutuhkan argumen yang kuat yang berasal dari Prabowo untuk melakukan penundaan terhadap PPN menjadi 12% yang rencananya bakal berlaku mulai 1 Januari 2025 tersebut.
"Kalau sudah undang-undang kan tidak bisa diubah dengan mudah. Jadi harus ada argumen yang kuat, yang mungkin harus dari pimpinan tertinggi dalam hal ini Pak Presiden [Prabowo]," ujar Raden kepada wartawan di Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto justru mengatakan untuk tidak menanyakan ihwal kepastian peningkatan PPN menjadi 12% pada 2025 kepada pemerintah.
Menurut dia, masyarakat justru harus menanyakan hal tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat melalui Komisi XI yang memiliki lingkup tugas di bidang keuangan dan perbankan.
Sebab, kata Airlangga, Komisi XI merupakan pihak yang memutuskan PPN menjadi 12% tersebut dan pemerintah mengikuti keputusannya.
Pernyataan itu dilontarkan saat Airlangga mendapatkan pertanyaan soal kepastian PPN menjadi 12% pada 2025 dari salah satu anggota luar biasa (ALB) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) di sela agenda Rapimnas 2024.
"Jadi jangan tanya pemerintah, tanya Komisi XI, karena yang memutuskan Komisi XI. Kalau pemerintah ikut keputusan Komisi XI," ujar Airlangga di sela Rapimnas Kadin 2024, Minggu (1/12/2024).
Di lain sisi, DPR justru mengatakan menunggu itikad baik pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mengajukan pembatalan atau penundaan kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% yang akan mulai berlaku pada 2025.
"Saat ini kami masih menunggu pengajuan dari pemerintah apabila akan menurunkan tarif (PPN)," ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie OFP saat dihubungi Bloomberg Technoz, Selasa (19/11/2024).
(dov/lav)